TULUNGAGUNG – Pelaksanaan ujian tengah semester (UTS) dan ujian kelulusan di tingkat sekolah dasar (SD) dengan pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT) hanya dengan kapasitas 50 persen. Model pelaksanaan tersebut memiliki beberapa kesulitan. Di antaranya, yakni bobot jawaban dari peserta didik yang berbeda.
Dengan melangsungkan ujian tatap muka dan sebagian peserta didik lainnya ujian secara daring di rumah, membuat bobot jawaban dari peserta didik jelas terdapat perbedaan.
“Sesuai dengan edaran pada Sabtu (19/3), pelaksanaan UTS dan ujian kelulusan masih memberlakukan pembelajaran tatap muka dengan kapasitas 50 persen,” terang Ketua Kegiatan Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kabupaten Tulungagung, Mukaji, kemarin (22/3).
Sedangkan untuk tingkat kehadiran guru di sekolah sudah 100 persen. Diketahui, setidaknya ada sekitar 580-an SD di Tulungagung sedang melangsungkan UTS dan ujian kelulusan. “Kalau kehadiran peserta didik hanya 50 persen, tetapi gurunya sudah 100 persen,” jelasnya.
Dia mengaku, dengan tingkat kehadiran 50 persen, juga perlu menyamakan bobot jawaban siswa. Dengan sebagian siswa yang melaksanakan ujian secara daring, jawaban dari pertanyaan yang telah diberikan tidak seluruhnya berasal dari siswa. Hal itu menjadi tugas tersendiri bagi guru agar lebih mengetahui kompetensi dan mengenal peserta didik. “Kita kan tidak tahu ketika melaksanakan ujian secara daring di rumah yang mengerjakan soal itu dari siswa sendiri atau bukan,” ungkapnya.
Lanjut dia, sedangkan untuk mengantisipasi kesulitan tersebut, disarankan melakukan ujian dengan cara seperti peserta didik kelas 1, 2, dan 3 masuk Senin. Kemudian kelas 4, 5, dan 6 masuk Selasa. Namun, tiap kelas di sekolah dibagi menjadi dua ruangan. Dengan begitu kapasitas peserta didik dapat terkontrol dan bisa melangsungkan ujian dengan bobot jawaban yang sama. “Kalau dalam menjawab sebuah pertanyaan itu dengan cara yang sama, maka bobot jawabannya juga akan sama. Berbeda jika ada 20 peserta didik, kemudian 10 peserta didik melangsungkan ujian di sekolah, dan 10 lainnya mengerjakan secara daring. Kemungkinan besar, 10 peserta didik yang melangsungkan ujian secara daring ini hasilnya lebih bagus dari 10 yang ujian di sekolah,” paparnya.
Dia menambahkan, setiap sekolah memiliki kebijakan dalam pelaksanaan ujian yang berbeda-beda. Jika ada peserta didik yang pintar kemudian mengerjakan ujian di sekolah, dibandingkan dengan peserta didik kurang pintar mengerjakan ujian secara daring. Hasil jawaban tersebut bisa jadi lebih baik dari peserta didik yang mengerjakan ujian secara daring di rumah. Berbeda jika cara mengerjakan soal ujian dilakukan dengan cara yang sama. “Nanti kalau peserta didik mengerjakan soal ujian, ada yang di sekolah dan ada yang di rumah, bisa-bisa rankingnya tertukar,” ujarnya.
Dia berharap ke depannya bisa melangsungkan pembelajaran tatap muka secara 100 persen. Sebab menjadi guru secara daring jauh lebih sulit, karena harus siap siaga ketika ada peserta didik atau wali yang menanyakan pembelajaran.
Selain itu, dengan melangsungkan pembelajaran tatap muka secara 100 persen, peserta didik bisa konsentrasi belajar di sekolah dan guru bisa memberikan pendidikan serta pembelajaran dengan efektif di sekolah. “Kalau di desa itu lebih parah lagi, karena yang mempunyai handphone sebagai sarana pembelajaran daring hanya orang tua. Jadi kebanyakan dari mereka harus menunggu orang tua pulang bekerja baru bisa melakukan pembelajaran daring. Dengan begitu, saya berharap agar dapat segera melangsungkan pembelajaran tatap muka secara 100 persen,” pungkasnya. (mg2/c1/din)