KABUPATEN BLITAR – Kegiatan belajar mengajar (KBM) di SDN Tegalasri 4 tak sepenuhnya maksimal. Bukan guru ataupun siswa yang mager, namun lantaran gedung sekolah tersebut butuh segera direnovasi. Terlebih setelah teras kelas ambruk beberapa hari lalu akibat hujan deras.
Jarum jam menujukkan pukul 07.00 WIB. Saatnya puluhan siswa SDN Tegalasri 4 mulai menerima materi pendidikan. Buku hingga pensil serempak terletak di meja. Suara goresan kapur di papan tulis begitu familiar terdengar. Tetapi, bukan lagi gedung sekolah yang mereka tempati, melainkan kelas darurat. Yakni, memanfaatkan bangunan rumah kosong milik warga.
Beberapa hari ini, kelas darurat itu sudah difungsikan layaknya kelas utama. Namun, nuansanya tetap berbeda. Menariknya, senyum manis di bibir bocah-bocah polos itu awet terpancar. Semangat belajar yang tak kendur itu harusnya menjadi pelecut agar pendidikan semakin apik.
Tak ada yang bisa menampik. Suasana kelas yang asri nan luas menjadi impian di lubuk naluri siswa, wali murid, hingga guru. Namun, semenjak musibah atap teras ambruk beberapa waktu lalu, siswa terpaksa mengungsi demi keselamatan. Kini di kelas darurat, pembelajaran tak semudah yang dibayangkan. Guru dan siswa harus berjuang melawan setiap keterbatasan.
“Kelasnya sempit. Terus banyak nyamuk di sini,” ungkap Adinda Septia Nilam Cahya, siswa kelas IV beberapa waktu lalu.
Ya, Adinda merupakan satu dari sekian banyak siswa di sekolah dasar yang terletak di timur laut Bumi Penataran itu. Dia duduk di bangku kelas IV bersama rekan sebangkunya, Afifah Devi Ramadanisa. Meski belajar di rumah warga merupakan pengalaman perdananya, semangat menyerap ilmu terus membara.
Adinda mengaku ada perbedaan yang begitu kentara. Misalnya, selain kerap resah lantaran banyaknya gangguan nyamuk, dia dan kawan-kawan dibuat gerah. Itu karena minimnya ventilasi udara. Jendela pun tak bisa dibuka. Sebab, sebelumnya sudah dipaku dengan bilah-bilah kayu. Untuk buang air kecil, dia juga harus memanfaatkan toilet masjid lantaran air di toilet rumah itu macet. “Rasanya di kelas (darurat, Red) ini beda. Tapi tetap semangat belajar,” imbuhnya.
Menghuni kelas darurat, membuat guru mengeluarkan segala jerih payahnya. Tampak bagaimana pembelajaran tidak menggunakan papan tulis. Jika tetap dipaksakan memasang papan, maka ruangan akan semakin ciut. Gerak guru otomatis akan semakin terbatas.
Hal serupa juga membuat beberapa siswa di kelas II dan III yang menempati kelas darurat lainnya menampakkan keluhan. Wali kelas III, Efti Nirviana Dewi mengakui, area belajar sempit masih menjadi keluhan utama. Misalnya, satu bangku yang seharusnya ditempati dua anak, justru diisi tiga anak.
“Sebenarnya kalau bangku ada. Tapi, banyak bangku yang tidak layak dan rusak. Ruangan juga sempit,” ungkap Efti.
Ironis. Perjuangan siswa SDN Tegalasri 4 dalam menggapai edukasi memang sukar. Mereka yang awalnya adem ayem belajar di sekolah, kini harus rela berteduh di bawah rumah kosong. Sekarang, enam buah bangku yang tersusun rapi itu sudah menjadi pemandangan pertama saat pagi membuka pintu kelas darurat. Dinding tembok kusam beralaskan lantai yang tidak dikeramik.
Kepala SDN Tegalasri 4, Dwi Sudaryanti menjabarkan, pihak sekolah masih akan memanfaatkan kelas darurat itu hingga batas waktu yang belum diketahui. Yang pasti, hingga sekolah selesai direnovasi dan layak untuk ditempati lagi. Itu juga untuk menepis terjadinya hal-hal yang tak diinginkan.
“Harapan kami, secepatnya kelas dibangun. Jadi bisa ditempati. Pembelajaran siswa di kelas darurat itu memang lancar. Tapi ya kami terkendala ruangan sempit. Terkait bangunan sekolah, kami menunggu turunnya dana dari pemerintah,” tandasnya.
Sebelumnya, musibah atap teras roboh menerpa gedung kelas I SDN Tegalasri 4 pekan lalu. Dampaknya, satu deret bangunan sekolah di sisi selatan itu disterilkan. Untuk menghindari peristiwa susulan, tiga kelas di sisi atas juga tidak difungsikan. Genteng bergelombang menjadi indikasi kayu penopang sudah lapuk, berbahaya bagi keselamatan guru dan siswa. (*/c1/wen)