TRENGGALEK – Pemkab Trenggalek bersama sejumlah pihak harus terus berupaya dalam proses pencegahan pernikahan dini terhadap anak. Pasalnya pada tahun lalu (2021-red) jumlah pernikahan dini di Trenggalek tertinggi di Jawa Timur. Dan jangan sampai hal ini kembali terulang (brace) tahun ini.
Hal ini seperti yang terlihat pada data yang dihimpun oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Trenggalek. Pada tahun lalu tercatat ada 956 pernikahan anak usia dini, yang tersebar di 14 kecamatan wilayah Trenggalek. Dengan jumlah itu, jika dibandingkan data dari Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) berarti ada kenaikan lebih dari dua kali lipat daripada tahun sebelumnya (2020-red) sejumlah 456 kasus pernikahan anak. “Memang pernikahan merupakan sebuah proses perjalanan hidup yang didambakan bagi kebanyakan orang, namun disini (Indonesia – red) pernikahan itu diatur dalam undang-undang (UU) terlebih usia minimal boleh kawin yaitu 19 tahun,” ungkap Wakil Ketua LPA Trenggalek Endang Suprapti.
Dia melanjutkan, dari jumlah tersebut jumlah kasus pernikahan usia dini terbanyak berada di Kecamatan Dongko dengan 132 kasus. Jumlah tersebut disusul Kecamatan Panggul dengan 121 kasus, dan Kecamatan Pule 119 kasus. Sedangkan untuk jumlah tiga terendah di Kecamatan Pogalan dengan 25 kasus, disusul Kecamatan Karangan dengan 29 kasus dan Kecamatan Trenggalek dengan 30 kasus. “Sedangkan untuk kecamatan lainnya jumlahnya variatif antara 112 kasus di Kecamatan Watulimo hingga 34 kasus di Kecamatan Suruh,” katanya.
Sedangkan, berdasarkan pantauan LPA, besarnya angka perkawinan usia anak disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya budaya, status sosial ekonomi keluarga, pendidikan rendah dan marriage by accident. Apalagi, kondisi ekonomi memburuk pada masa pandemi Covid–19, sekitar tiga tahun ini juga turut menambah besarnya angka perkawinan usia anak. Di samping itu, dengan kegiatan belajar di rumah yang cukup lama mempengaruhi kondisi psikologis anak sebagai peserta didik maupun orang tuanya yang berperan sebagai guru di rumah.
Dari situ saat ini LPA terus melakukan kampanye sosial pencegahan perkawinan usia anak, mengingat cukup banyak dampak negatif ketika usia anak menikah. Sebab dengan umur pernikahan masih belia, khususnya anak perempuan belum siap secara biologis untuk mengandung. Sebab organ reproduksinya belum cukup matang, sangat beresiko tinggi bagi keselamatan dan kesehatan ibu dan bayinya. Demikian halnya anak laki-laki yang akan menjadi suami, kondisi mental, emosi labil berpengaruh pada keretakan rumah tangga, rata-rata terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan berujung perceraian. Perkawinan anak berpotensi munculnya permasalahan sosial baru, sehingga anak-anak lebih baik menyelesaikan sekolah ketimbang menikah.
Sehingga dalam proses pencegahan pernikahan anak LPA dan pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, sebab perlu keterlibatan dan peran serta semua pihak untuk mencegah pernikahan anak terutama orang tua. “Pemerintah sudah merubah UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang batasan usia menikah, yakni pada pasal 7 perkawinan diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Sehingga diharapkan semua pihak harus mewujudkan slogan Ayo Sekolah Aja Omah-Omah,” jelas Endang. (jaz/rka)
Produktivitas Pertanian Belum Berjalan, Air Masih Tertampung di Bendungan Tugu
TRENGGALEK - Para petani di seputaran aliran air Bendungan Tugu...