TULUNGAGUNG – Dulunya Tulungagung menjadi salah satu wilayah yang menjadi langganan bencana banjir. Penyebabnya, faktor topografi wilayah dan luapan air Sungai Brantas. Barulah setelah pembangunan terowongan air Niyama dan terowongan Tulungagung selatan II, bencana banjir berangsur berkurang.
Kasi Pembinaan dan Pengawasan Kearsipan Dinas Perpustakaan Kabupaten Tulungagung Joko Sugiono mengatakan, berdasarkan topografi daerah, Tulungagung terbagi menjadi tiga kawasan. Yakni, kawasan pegunungan, dataran rendah, dan pantai.
Bencana banjir yang terjadi di Tulungagung kebanyakan melanda wilayah utara, selatan, tengah, dan timur yang merupakan dataran rendah. “Selain karena topografi daerah, bencana banjir juga terjadi lantaran pendangkalan Sungai Brantas akibat sedimentasi sisa letusan Gunung Kelud,” jelasnya kemarin (27/6).
Lanjut dia, dibangunlah terowongan air Niyama pada tahun 1943 untuk mengatasi bencana banjir itu. Sebelumnya, pada tahun 1942, bencana banjir di Tulungagung sempat merendam sekitar 150 desa, 9.000 rumah, dan area pertanian. Pembangunan terowongan air di area pegunungan tersebut berjuang untuk menguras air yang menggenang di wilayah dataran rendah Tulungagung. “Pembangunan terowongan air Niyama itu masih dibangun secara manual dan selesai pada tahun 1944. Karena pada masa itu masih zaman penjajahan, maka pembangunan terowongan air tersebut dikerjakan dengan sistem romusa,” paparnya.
Dia menambahkan, selesainya pembangunan terowongan air Niyama tidak sepenuhnya dapat menanggulangi bencana banjir di Tulungagung. Terbukti 11 tahun kemudian sekitar tahun 1955, bencana banjir kembali menggenangi Tulungagung akibat meningginya dasar Sungai Brantas lantaran sedimentasi letusan Gunung Kelud. Bencana banjir kali ini berdampak pada perekonomian dan kesehatan masyarakat pada masa itu. “Berdasarkan data yang saya ketahui, bencana banjir yang terjadi setiap tahunnya telah mengakibatkan kerugian materi hingga Rp 287 juta. Selain itu juga terjadi penyebaran penyakit kulit dan demam berdarah,” ungkapnya.
Kembali terjadinya bencana banjir, membuat pemerintah pada saat itu melakukan rehabilitasi terowongan air Niyama dengan memperlebar diameter dan panjang terowongan. Proyek rehabilitasi pun selesai pada tahun 1961. Namun, bencana banjir kembali terjadi pada tahun 1971 dengan faktor penyebab yang relative hampir sama. “Revitalisasi itu hanya bersifat sementara dan masih perlu penambahan terowongan untuk dapat menampung debit air yang lebih besar,” katanya.
Dia mengaku, untuk mengoptimalkan pembangunan terowongan air Niyama yang kedua, pemerintah pada masa itu melakukan perbaikan dua aliran sungai. Proyek tersebut selesai pada tahun 1986 sehingga bencana banjir di Tulungagung berangsur-angsur berkurang. “Pembangunan terowongan air Niyama oleh militer Jepang, serta rehabilitasi dan penambahan terowongan Tulungagung selatan oleh pemerintahan Indonesia, menjadi langkah yang jitu untuk menanggulangi bencana banjir di Tulungagung,” tutupnya. (mg2/c1/din)