KOTA BLITAR – Enam rancangan peraturan daerah (raperda) harus ditunda pembahasannya. Penyebabnya, perda rencana detail tata ruang (RDTR) yang kini masih tahap revisi.
Rencananya, enam raperda tersebut masuk program pembahasan di 2022 lalu. Namun, pembahasan urung dilaksanakan karena harus menunggu hasil revisi aturan RDTR terlebih dulu. “Soalnya, enam raperda ini berkaitan dengan RDTR. Hasil revisi RDTR nanti menjadi acuan pembahasan,” kata Ketua Program Pembentukan Perda (propemperda) DPRD Kota Blitar Dedik Hendarwanto kepada Koran ini, kemarin (26/1).
Enam raperda itu di antaranya raperda tentang perizinan bangunan gedung (PBG), raperda tentang retribusi PBG, raperda tentang pariwisata, hingga raperda tentang rencana induk pariwisata daerah (riparda). Kemudian, satu perda tentang pengelolaan keuangan daerah. “Untuk raperda pengelolaan keuangan daerah ini ada kaitannya dengan regulasi baru berupa UU (Undang-Undang) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,” jelasnya.
Salah satu dari enam raperda yang ditunda pembahasannya adalah raperda tentang pariwisata. Saat ini, pemkot belum memiliki perda tentang pariwisata, meski Kota Blitar dijuluki kota wisata. Raperda itu mengatur di antaranya jasa perhotelan, jasa hiburan, dan lain sebagainya.
Kemudian, raperda tentang riparda atau rencana induk pariwisata daerah. Kedua raperda itu harus ditunda pembahasannya karena menunggu hasil revisi aturan RDTR. “Sejumlah raperda itu sebenarnya sudah kami ajukan ke provinsi untuk rekomendasi pembahasan. Ternyata harus ditunda karena menunggu perda RDTR rampung direvisi,” terang politikus PDIP ini.
Ditanya mengenai wacana revisi Perda Nomor 1 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pasar Modern, kata Dedik, belum ada kepastian. Namun, jika memang nanti direvisi, maka juga harus menunggu hasil revisi RDTR terlebih dulu. “Karena aturan mengenai kuota dan zonasi toko modern terutama yang berjejaring nanti juga mengacu RDTR Kota Blitar,” ujarnya. (sub/c1)