TULUNGAGUNG– Kalangan pengusaha Tulungagung menengah ke bawah mengeluh kesulitan dengan upah minimum kabupaten (UMK) Tulungagung yang mengalami kenaikan 9,86 persen. Kenaikan tersebut dianggap luar biasa. Padahal, mereka baru saja dipukul beberapa permasalahan yang membuat kekuatan perusahaan sangat terbatas.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Tulungagung, Nur Wahidun mengatakan, pihak Apindo Tulungagung sebenarnya menghendaki kenaikan UMK di Tulungagung. Namun, kenaikan yang kini terjadi yakni UMK menjadi Rp 2.229.358,67 atau naik 9,86 persen dibandingkan tahun sebelumnya memang terbilang luar biasa.
Padahal, berdasarkan dialog tripartit yakni pemerintah dalam hal ini Disnakertrans Tulungagung, Apindo sebagai perwakilan pengusaha, serta Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Tulungagung sebagai perwakilan pekerja, sudah ditemukan angka mufakat yakni kenaikan 4,16 persen.
“Padahal kalau kenaikan UMK itu dikembalikan ke daerah masing-masing sesuai dengan kesepakatan antara tripartit. Bahkan, mayoritas pengusaha dalam naungan Apindo sudah menerima kenaikan 4,16 persen,” jelas Wahidun, sapaan akrabnya.
Dia melanjutkan, perusahaan menengah ke bawah pasti mengeluh dan mengalami kesulitan dalam penerapan UMK yang akan dimulai pada 1 Januari tahun 2023. Kini perusahaan menengah ke bawah dalam kondisi serba terbatas. Kondisi faktual di lapangan, para pengusaha baru saja dipukul pandemi Covid-19 selama dua tahun yang membuat iklim bisnis lesu. Setelah mulai bangkit dari pagebluk, kenaikan harga BBM juga mengerek inflasi di daerah dan menjadi kendala bagi para pengusaha.
Untungnya inflasi di Tulungagung tidak sampai di atas 5 persen sehingga masih terbilang aman. Namun, bagaimana peran pemerintah dalam membuat kebijakan pengendalian inflasi juga cukup riskan. Karena itu, pihaknya berharap agar pemerintah tidak membiarkan inflasi di daerah melambung tinggi.
“Tapi kalau untuk kemungkinan terburuk yakni adanya pemutusan hubungan kerja (PHK), saya rasa kok tidak akan terjadi,” katanya.
Kini pada tataran Apindo pusat juga sedang merespons kenaikan UMK dengan mengajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemakaian landasan hukum dalam penentuan UMK di daerah. Niatnya untuk memperjelas satu dasar hukum yang digunakan dalam penerapan penentuan UMK, apakah menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan atau Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
Dia menegaskan, sebenarnya yang dicari adalah sebuah win-win solution, utamanya bagi para pengusaha dan para pekerja di Tulungagung. Terpenting adalah semua pihak juga ikut menjaga iklim bisnis yang ada di Tulungagung tanpa chaos yang terjadi dan tetap kondusif.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Tulungagung Agus Santoso menegaskan, UMK Tulungagung yang telah dikeluarkan merupakan keputusan Gubernur Jawa Timur (Jatim). Bagi pihak-pihak yang merasa keberatan, Disnakertrans Tulungagung juga memasang badan untuk memfasilitasi mereka melakukan dialog dengan pemerintah provinsi. “Kita bisa audiensi dengan pengambil keputusan di sana (Jatim, red),” kata Agus, sapaan akrab Agus Santoso.
Dia berpendapat bahwa kenaikan yang terjadi memang sudah mampu diterapkan untuk perusahaan yang notabennya berskala besar dengan kekuatan keuangan yang baik. Namun, bagi perusahaan menengah ke bawah memang harus menerapkannya, meskipun dengan standar yang paling rendah.
“Contohnya sebuah perusahaan menengah dengan pekerja 100 orang. Dengan kenaikan yang terjadi, dia harus menambah pengeluaran Rp 20 juta untuk menggaji karyawan yang otomatis harus meningkatkan laba. Masalahnya, apa mampu laba ditingkatkan Rp 20 juta di setiap bulannya?” ungkapnya bertanya-tanya.
Ditakutkan, keadaan yang ada malah dijadikan alasan bagi perusahaan untuk mengurangi pekerjanya agar perusahaan bisa tetap berjalan. Kemungkinan buruk lainnya, bisa saja perusahaan di Tulungagung mulai berganti menggunakan tenaga mesin karena dipandang lebih menguntungkan dibanding menggunakan tenaga manusia. “Kalau terjadi semacam itu yang rugi adalah iklim usaha di Tulungagung sendiri,” katanya.
Meskipun SK Gubernur tentang UMK yang dikeluarkan sifatnya final dan mengikat, tetapi tidak ada payung hukum apa pun yang mengikat kecuali keputusan MK. Jadi, seandainya pengusaha-pengusaha di Tulungagung keberatan, masih terjadi kemungkinan perubahan. “Tapi mudah-mudahan perusahaan di Tulungagung mampu menerapkan kenaikan UMK ini,” pungkasnya. (mg1/c1/din)