TULUNGAGUNG – Bagi Persatuan Penari Perempuan, tari bukan hanya sekadar hiburan atau sarana mencari penghasilan. Namun, menari itu kehidupan karena apa pun yang didapat di hidupnya berasal dari menari.
Tampilan megah belasan penari yang berasal dari berbagai desa di Tulungagung menampakkan diri di tengah pusat keramaian. Sontak mengundang perhatian masyarakat sekitar untuk menikmati tampilan para perempuan itu. Ternyata mereka beraksi untuk merayakan Hari Tari Dunia pada 29 April lalu.
Pantas, pemandangan berbeda tersaji di tengah pusat kota. Bermula di depan Pendapa Kongas Arum Kusumaning Bongso pada Jumat (29/4) lalu. Usai kumandang salat Tarawih yang terdengar dari Masjid Al Munawwar tepat pukul 20.00 WIB, 15 penari bersiap diri dengan pakaian kebaya dan jarik menutupi tubuh para penari perempuan tersebut.
“Biasanya kami memperingati Hari Tari ini dengan tampil di suatu tempat pertunjukan. Namun karena masih dalam kondisi pandemi korona, kami mencoba untuk melakukan pementasan bersifat street performance,” ujar Ketua Koordinator, Ammy Aulia Renata.
Mereka rindu tampil di pementasan yang besar, namun saat kondisi pandemi di Tulungagung terbatas untuk melakukan acara yang mengundang kerumunan. Bahkan, biasanya mereka memperingati Hari Tari bergabung dengan pementasan di luar kota. Bersyukur tahun ini korona berangsur-angsur mereda, meskipun tidak pentas di panggung, konsep street art menjadi alternatif yang tidak kalah bagusnya.
Uniknya penampilan malam itu dibawakan selama 3 jam nonstop yang melewati empat tempat di tengah kota. Dari depan rumah bupati, yakni Pendapa Kongas Arum Kusumaning Bongso lalu melangkah menuju Taman Aloon-Aloon. Hingga berakhir di bundaran TT yang menjadi titik nol dari Tulungagung.
Menurut Renata, sapaan akrabnya, penampilan tari yang dimulai dari pendapa hingga simpang empat TT itu merupakan suatu titik linier yang berarti besar bagi masyarakat di tanah kelahirannya ini. Sejumlah 15 penari menari di depan rumah bupati dengan koreografi yang menceritakan bahwa mereka sebagai masyarakat dan seniman lahir, mencintai dan ada rasa memiliki Tulungagung.
Lalu setelah hampir 10 menit di depan pendapa, mereka bergerak di depan pohon beringin yang tidak jauh dari lokasi pertama. Di tempat itu, mereka menari dengan koreografi yang menceritakan tentang semua seniman harus menyatu, tidak ada perbedaan atau permusuhan. Dengan menyatu itu, maka mereka merasa memiliki energi yang sama.
“Lalu kami pindah ke Taman Kartini, kami membuat sebuah koreografi yang menceritakan tentang budaya nyethe. Karena nyethe yang asalnya ampas kopi itu, kami merasa perempuan berhak berekspresi dan tanpa memandang gender,” ungkapnya.
Para penari itu membawa segelas kopi sebagai peraga menari, mereka sempat mengoleskan beberapa cethe atau ampas kopi ke tangannya. Bahkan, mereka juga meminum kopi itu di tengah-tengah gerakan menari. Bagi Renata, koreografi ini suatu protes perempuan bahwa keseteraan gender itu ada.
Pukul 21.00 WIB mereka pindah ke Taman Aloon-Aloon dan menari di depan air mancur yang berada di tengah dan di depan tulisan ‘Taman Aloon-Aloon’. Pada tempat itu mereka melakukan koreografi yang menceritakan kesenian reog kendang atau reog dhodhog yang merupakan tradisi khas Tulungagung. Lalu mereka bergerak menuju Taman Titik Nol Kilometer.
Pada taman yang baru diresmikan itu, para penari membawa sebuah gerakan yang menggambarkan caplokan bagian dari seni jaranan. Karena berfungsi sebagai tolak balak, caplokan yang terkenal angkara murka sebagai pandemi korona. Lalu, mereka arak keliling taman hingga caplokan hilang.
Masih di Taman Nol Kilo Meter yang terdapat panggung, mereka melakukan koreografi yang menceritakan kesenian tetek melek. Kesenian itu merupakan simbol tolak balak sehingga mereka membuat refleksi bila adanya kekuatan alam.
“Terakhir kami di Bundaran TT dengan melingkar sehingga terbentuk koreografi yang intinya ritual berdoa memanjatkan puji kepada alam dan Tuhan. Kami juga percaya kalimat ‘wanita ibu bumi’,” terangnya.
Penampilan di Bundaran TT itu jelas banyak menyita perhatian masyarakat yang lewat. Para pengendara motor pun sesekali menolehkan diri untuk sekadar melihat gerakan mereka. Bahkan, ada yang berhenti untuk mengabadikan momen yang mereka sajikan.
Dia menjelaskan jika ide dari penampilan ini sejak awal April, namun 15 penari itu baru bisa berkumpul untuk latihan satu minggu sebelum acara. Sebenarnya banyak penari yang ingin ikut acara besar ini, namun karena terbentur perizinan, maka mereka membatasi. (*/c1/din)