Tulungagung – Sebaran virus chikungunya yang menjangkit warga di empat desa pada dua kecamatan di Kota Marmer ini terbilang cukup jauh. Diketahui jarak dari ke empat desa tersebut saling berjauhan dari desa kasus awal temuan chikungunya. Diduga sebaran virus terlampau jauh itu disebabkan mobilitas serta kurangnya perhatian akan kebersihan lingkungan dari masyarakat. Kabid Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Tulungagung, Didik Eka Sunarya Putra mengatakan, pada minggu awal di tahun 2023 lalu, temuan kasus chikungunya pertama kali ditemukan di Desa Gilang, Kecamatan Ngunut. Pada saat itu ditemukan sebanyak 35 warga yang terjangkit chikungunya. Setelah adanya temuan kasus, penanganan secara maksimal dilakukan mulai dari pemberantasan sarang nyamuk (PSN) hingga dilakukannya fogging. Sebaran virus chikungunya di Desa Gilang akhirnya terhenti. “Saat itu tidak sampai meluas dan pasien tidak sempat merasakan gejala parah,” jelasnya kemarin (25/1).
Walau pun sebaran di Desa Gilang terhenti, temuan kasus dengan gejala menyerupai chikungunya justru kembali ditemukan di Desa Jatimulyo, Kecamatan Kauman, sebanyak 11 kasus. Setelah belasan warga itu dilakukan rapid tes chikungunya, mereka dinyatakan positif. Mengetahui hal tersebut, penanganan sama segera dilakukan untuk menghentikan sebaran virus. Tak berselang lama, kembali muncul temuan chikungunya di dua desa sekaligus yakni di Desa Ngunut dan Desa Pulosari, Kecamatan Ngunut, dengan total temuan 28 warga terjangkit chikungunya. “Sebaran virus ini terbilang jauh dari titik awal temuan kasus chikungunya,” ucapnya. Saat kasus pertama ditemukan di Desa Gilang dan kasus kedua di Desa Jatimulyo, Kecamatan Kauman, jarak kedua desa tersebut mencapai sekitar 23 kilometer (km). Kemudian di Kecamatan Ngunut ada tiga desa dengan temuan chikungunya, jarak antar desa tersebut terbilang jauh mencapai lebih dari 2-3 km dari titik awal temuan kasus chikungunya. Dia mengaku, secara epidemiologi sebenarnya tidak ada kaitan antara desa-desa tersebut dalam penyebaran virus chikungunya. Sebab, jarak terlalu jauh untuk jangkauan jarak terbang nyamuk dari titik awal temuan chikungunya di Desa Gilang. “Seharusnya virus itu tidak bisa dibawa nyamuk dengan jarak sejauh itu,” paparnya.
Berdasarkan pengamatan kasus, dinkes menduga jika sebaran virus chikungunya dengan jarak sejauh itu disebabkan mobilitas masyarakat membawa virus dari titik awal temuan kasus dan dibawa ke tempat asalnya. Bahkan secara kebetulan, di lingkungan tersebut terdapat fektor penyakit chikungunya yakni nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus, sehingga terjadilah penyebaran kasus di beberapa wilayah tersebut.
Dinkes mengimbau apabila ada warga yang merasakan gejala virus chikungunya untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan (faskes) terdekat agar penanganan tidak terlambat. Mengingat gejala chikungunya hampir mirip dengan demam berdarah dengue (DBD). Dinkes memastikan sampai kini tidak ada temuan pasien yang lumpuh atau meninggal dunia akibat virus chikungunya. “Jangan menunggu beberapa hari baru periksa untuk meminimalisir gejala kronis karena kalau telat penanganan bisa meninggal dunia. Dikhawatirkan bukan terkena chikungunya, tetapi malah DBD,” tutupnya. (mg2/din)