KABUPATEN BLITAR – Makan ketupat atau kupatan sudah menjadi tradisi umat Islam khususnya di Jawa setelah Lebaran. Tak sedikit orang yang mendapat berkah darinya. Salah satunya adalah Wahyudi warga Kelurahan Tanjungsari, Kecamatan Sukorejo, yang ketiban rezeki dari pesanan ketupat.
Sejumlah ketupat itu digantung rapi di teras rumahnya. Diikat di sebilah bambu yang sengaja dipasang memanjang ditiap tiang plafon. Ada tiga baris bambu yang terpasang.
Bambu itu digunakan untuk menggantung ketupat yang sudah matang. Makanan khas Lebaran sebangsa lontong itu digantung untuk diangin-anginkan agar cepat dingin. Sudah sejak seminggu terakhir ini Wahyudi disibukkan dengan produksi ketupat.
Pria 43 tahun itu tidak sendirian memproduksi. Dia dibantu oleh sejumlah anggota keluarganya. Ketupat yang diproduksi itupun sudah dipesan oleh sejumlah konsumen. “Alhamdulillah, Lebaran kali ini banyak pesanan. Baru-baru ini dapat pesanan dari pondok pesantren (ponpes),” tuturnya kepada Koran ini kemarin (10/5).
Tak tanggung-tanggung, pesanan ketupat dari ponpes itu mencapai 1.000 biji. Ketupat tersebut digunakan untuk acara kupatan di pondok. Saking banyaknya pesanan, Wahyudi pun harus mengerahkan tenaga anggota keluarga lain. Mulai istri, anak, hingga tetangga sekitar.
Usaha produksi ketupat itu merupakan usaha musiman. Usaha itu sudah dijalani keluarganya secara turun temurun. Setiap menjelang Lebaran, permintaan ketupat sudah mengantre. “Saya membuat ketupat ketika Lebaran. Tahun ini permintaan lumayan banyak,” kata pria yang sehari-hari bertugas sebagai petugas keamanan di Bendungan Jegu, Kanigoro ini.
Pada Lebaran lalu sedikitnya telah menjual 5 ribu ketupat. Bisa dibilang Lebaran kali ini menjadi berkah baginya. Wahyudi dan keluarga panen pesanan.
Lantaran pesanan dalam jumlah banyak, seluruh anggota keluarga dilibatkan. Mereka memiliki peran masing-masing. Ada yang membuat selonsong ketupat atau merangkai janur, mengisi beras, memasak, hingga menggantung di teras.
Produksi yang melimpah itu membuat Wahyudi harus mempersiapkan segalanya dengan maksimal. Salah satunya menyiapkan tungku berukuran jumbo untuk memasak ketupat. “Dalam sekali masak bisa menampung 800 hingga 1.000 ketupat,” ujar pria berperawakan tinggi tegap ini.
Untuk memasak ketupat, Wahyudi menggunakan cara tradisional. Yakni menggunakan kayu bakar sebagai sumber pengapian. Kayu yang dipilih pun adalah mahoni.
Dengan cara tersebut dijamin ketupat bisa matang sempurna. Berbeda jika menggunakan pengapian modern seperti kompor gas. “Proses masaknya itu yang cukup lama, yakni memakan waktu hampir 4 jam,” bebernya.
Ketupat produksinya berbeda dari yang lain. Dari segi ketahanan bisa hingga empat hari dan tidak basi ataupun berbau. “Bahkan ada yang bilang seminggu. Dengan syarat, ketupat cukup diangini atau ditaruh di atas tungku,” klaimnya.
Selain tahan lama, ketupat Wahyudi juga memiliki tekstur agak kenyal dan padat. “Kadang ketupat biasanya saat dijatuhkan ambyar. Kalau bikinan saya itu malah mentul-mentul. Ini tanpa pengawet lho,” bebernya.
Rata-rata ketupat produksinya sudah dipesan sejak jauh hari. Bahkan ketika pertengahan puasa Ramadan. Selain pesanan dari ponpes, Wahyudi juga mendapat pesanan dari warga sekitar. Biasanya mereka yang tidak sempat membuat ketupat akhirnya memesan.
Untuk membuat 1.000 ketupat, Wahyudi membutuhkan 1 kuintal beras. Dia memilih beras yang pulen dan bersih. Beras yang sudah dicuci bersih lalu dimasukkan ke selongsong ketupat yang sudah jadi.
Setelah itu, baru ketupat dimasukkan ke tungku untuk dimasak selama 4 jam. Selama dimasak, api harus terus menyala agar ketupat matang sempurna.
Wahyudi menjual ketupatnya seharga Rp 22 ribu per 10 biji. Itu untuk ukuran kecil. Sedangkan ukuran sedang dijual Rp 50 ribu. Dari penjualan itu, omzet yang diperoleh lumayan. Dalam tiga hari bisa memperoleh sekitar Rp 10 juta. “Semoga tahun depan bisa lebih banyak lagi pesanannya. Sebab, tahun lalu sempat mencapai 9 ribu,” tandasnya. (*/ady)