KOTA BLITAR – Sejatinya, seni wayang kulit adalah potret budaya masyarakat. Cerita yang diangkat dalam lakon pewayangan selalu erat dengan kehidupan sosial. Sayang, kesenian asli nusantara ini mulai digerus zaman. Itu membuat Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kota Blitar, Waras Sugiarto berupaya untuk tetap membumikannya.
Seragam dinas lengkap dengan kartu tanda pengenal dia kenakan saat bersua dengan Jawa Pos Radar Blitar, kemarin (25/7). Sekilas, penampilan pria itu tidak menggambarkan profesinya sebagai seorang dalang wayang kulit. Dia adalah Ketua Pepadi Kota Blitar, Waras Sugiarto. “Saya juga bertugas sebagai staf di Bidang Kebudayaan Disbudpar Kota Blitar,” ujar sang dalang membuka perbincangan.
Tertarik dengan dunia wayang sejak belia, pria yang berdomisili di Jalan WR Supratman, Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sananwetan itu mengaku banyak menghabiskan masa remajanya untuk belajar cerita atau lakon, tokoh-tokoh, dan unsur-unsur lain dalam wayang kulit. “Ada banyak lakon dan tokoh dalam pewayangan. Dalang harus bisa memahami dan menghafalkan satu per satu tokoh. Mulai dari nama, latar belakang, sifat, hingga pembawaannya,” katanya.
Dari sekian banyak tokoh wayang, ada satu tokoh yang menurut dia paling sulit untuk dipelajari. Yakni Baladewa. Untuk diketahui, dalam lakon Mahabarata, Baladewa digambarkan sebagai tokoh protagonis dengan sifat tegas dan berwibawa. Pembawaannya yang kaku dalam membuat keputusan membuat Waras makin tertantang untuk mendalami tokoh yang juga digambarkan memiliki senjata Gada Nanggala itu. Tak kurang 15 tahun dia habiskan hanya untuk mempelajari tokoh yang dia favoritkan itu.
“Dia (Baladewa, Red) itu kalau bilang tidak ya tidak, kalau sudah iya ya iya,” jelasnya.
“Jadi, memang pembawaannya terkesan tegas dan agak kaku. Tapi, dia adalah bagian dari Pandawa. Itu tokoh yang paling susah untuk saya pelajari, sekaligus tokoh yang saya favoritkan. Saya belajar Baladewa sejak 15 tahun lalu,” imbuh pria 55 tahun itu.
Tak terhitung berapa jumlah panggung di Kota Patria yang dia jajaki sebagai pementas wayang kulit. Meski begitu, Waras mengaku, pekerjaan sebagai seorang dalang adalah profesi yang tidak mudah untuk dilakoni. Selain dituntut memiliki kempuan verbal yang baik, seorang dalang juga punya pantangan tersendiri. Yakni, dilarang menunjukkan gestur lelah ataupun mengantuk.
Itu sebabnya, seorang dalang dialarang menunjukkan gestur klangopan alias menguap meski dalam kondisi mengantuk. Jelas pantangan itu menjadi tantangan bagi dalang. Pasalnya, pagelaran wayang kulit biasa digelar semalam suntuk. Tapi, tetap saja si pembawa lakon wajib tampil segar dan bugar. “Dalang harus tampil sempurna. Karena seluruh pakeliran panggung milik dalang. Ndak boleh menguap dan harus betah melek,” jelasnya lantas terkekeh.
Kini, lanjut ayah dua anak itu, seni wayang kulit perlahan mulai ditinggalkan masyarakat. Dia menilai, itu tak lepas dari perkembangan zaman. Kini masyarakat semakin punya banyak pilihan hiburan. Itu memang patut disayangkan. Alasannya, wayang kukit adalah budaya asli nusantara. “Kalau bukan kita dan anak-anak kita yang nguri-nguri, lalu siapa lagi?” ucapnya.
Pria kelahiran 7 Oktober itu punya kiat khusus untuk kembali meningkatkan minat masyarakat terhadap wayang kulit. Salah satunya dengan menyisipkan unsur-unsur “pemanis” dalam suatu lakon yang dia pentaskan. Beberapa di antaranya, campursari, dagelan, dangdut, ataupun unsur religi. Nah, beberapa unsur itu bisa dimasukkan dalam lakon carangan alias karangan. Yakni suatu plot atau jalan cerita yang dikarang sendiri oleh dalang.
“Lakon itu ada yang pakem dan ada carangan. Yang pakem itu contohnya Mahabarata, Ramayana atau Kresnayana. Sedangkan, carangan itu lakon yang dikarang sendiri. Di situ saya biasa masukkan unsur-unsur yang menarik di masyarakat, khususnya pemuda,” bebernya.
Dia menyebut, itu adalah bagian dari bentuk syiar untuk berbuat kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. “Betul. Seperti Wali Songo yang menggunakan wayang kulit sebagai media berdakwah. Ini juga bagian dari edukasi para dalang kepada masyarakat,” tandasnya. (*/wen)