KABUPATEN BLITAR – Nelangsa tak hanya dirasakan korban bencana banjir Sutojayan. Pertengahan Oktober lalu, sebagian warga di Desa Maron, Kecamatan Kademangan juga sempat ketar-ketir karena huniannya dilanda tanah gerak. Tampaknya, mereka harus meninggalkan rumah, karena kondisi yang kian memburuk.
Berulangkali Satini menutup mulut dan mengelus dada, ketika memandangi rumahnya kemarin (6/11). Nenek 63 tahun ini, masih belum bisa menerima kenyataan. Rumah yang dia tinggali hampir separo abad lebih tampaknya bakal terpaksa ditinggalkan akibat tanah gerak. “Kudu nangis lek ngomonge omah (Mau menangis kalau ngomong tentang rumah),” ujarnya, sembari menyeka matanya yang sembab.
Meski tidak sampai roboh, nyaris semua stuktur utama rumahnya memang rusak. Posisinya terlihat sudah miring, bagian ubin lantai rumah juga berantakan.
Tidak hanya retak. Lebih tepatnya hunian milik Satini ini bergeser. Sebab, rongga di dinding akibat tanah gerak itu lebarnya lebih dari sekilan orang dewasa. Bagian dapur juga ambles beberapa sentimeter dari kondisi semula.
Kebanyakan rumah di RT 2, RW 8, Desa Maron, Kecamatan Kademangan ini, bergeser sejak pertengahan Oktober lalu. Persis berbarengan dengan banjir yang melanda sejumlah wilayah Bumi Penataran, kurang lebih dua hari setelah hujan tanpa jeda. “Ping pindo enek suoro (dua kali ada suara, Red) bleng bleng (gemuruh, Red), lalu terus tanahnya retak,” kenang Satini.
Mendengar suara gemuruh, Satini keluar rumah. Bertemu dengan beberapa warga lain yang juga kaget oleh fenomena alam tersebut. Sejurus kemudian, dia kembali dan melihat kondisi lantai dapur yang retak.
Sebenarnya, potensi pergerakan tanah sudah diketahui sejak lama, yakni sejak 2002 silam. Satini sudah melihat tanda-tanda tersebut. Namun, karena sudah dua dekade tidak ada pergerakan tanah, dia sedikit lebih tenang. Bahkan memberanikan diri untuk memperbaiki bagian dapur. “Sak jane wes dielingno (sebenarnya sudah diingatkan) tapi wong ora pernah enek gejala maneh, makane wani mbangun pawon (tapi sudah tidak pernah ada gejala lagi, makanya saya berani membangun dapur),” ujarnya.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kondisi kerusakan rumah Satini cukup parah. Bahkan, lambat laun kondisi retakan tanah atau kerusakan rumah semakin besar. Dia harus pindah demi keselamatan dirinya dan keluarga. Sementara ini, dia harus mengungsi ke rumah saudara.
Hal ini tidak hanya dialami oleh Satini. Setidaknya ada 5 rumah warga di lokasi tersebut yang terdampak tanah gerak dengan kerusakan yang bervariatif. “Jadi pas awal mulai ada retakan, Mbah Satini nangis-nangis ngeluh, ya tak kasih tahu bahwa rumah saya juga ikut terdampak,” ungkap Wawan, salah seorang tetangga Satini.
Namun, kondisi rumah ketua rukun warga (RW) ini masih lumayan. Hanya bagian dapur saja yang rusak. Sedangkan bangunan utama masih bisa relatif aman digunakan. Sehingga, dia tidak mengungsi ke rumah sanak saudara.
Kendati begitu, Wawan juga tampaknya harap-harap cemas. Sebab, retakan baru biasanya muncul setelah hujan melanda wilayah tersebut. Artinya, retakan akan menjadi lebih parah setelah hujan dengan intesitas tinggi mengguyur. “Mungkin karena air masuk ke dalam retakan tanah sehingga membuat pergerakan tanah semakin intens,” terangnya. (*/ady)