Indonesia kembali dihebohkan dengan pernyataan Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menyatakan bahwa suara alam seperti suara burung, gemericik air, hingga suara angin tetap harus membayar royalti jika digunakan dalam karya komersial. Isu ini langsung menjadi perbincangan hangat di media sosial, memancing pro-kontra di kalangan masyarakat, pelaku industri kreatif, hingga ahli hukum. Mengapa suara alam yang bukan karya manusia bisa masuk dalam ranah perlindungan hak cipta? Apakah ini sekadar kontroversi, atau ada dasar hukum yang kuat di baliknya?
Sejarah dan Fungsi LMKN: Dari Perlindungan Hak Cipta hingga Kontroversi
Apa Itu LMKN dan Mengapa Eksistensinya Penting?
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) adalah badan yang mengelola, menagih, dan menyalurkan royalti atas penggunaan karya cipta musik dan lagu di Indonesia. Didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, LMKN menjadi perpanjangan tangan pencipta, artis, dan produser rekaman untuk memastikan hak ekonomi mereka terlindungi.
Selama bertahun-tahun, LMKN berperan besar dalam mengatur tata kelola royalti di Indonesia. Setiap penggunaan lagu, musik, atau karya rekaman di ruang publik—baik kafe, hotel, radio, televisi, bahkan konten YouTube—harus mendapatkan izin dan membayar royalti kepada pencipta melalui LMKN.
Royalti, Hak Cipta, dan Tantangan Era Digital
Seiring berkembangnya dunia digital dan kreativitas tanpa batas, batasan antara karya orisinal, remix, sampling, dan suara alam semakin tipis. LMKN menghadapi tantangan untuk menyesuaikan regulasi dengan perkembangan zaman, terutama soal penggunaan suara-suara non-musikal dalam karya seni dan konten komersial.
Awal Mula Polemik: Ketika Suara Alam Masuk Hitungan Royalti
Pernyataan Ketua LMKN yang Jadi Viral
Polemik bermula ketika Ketua LMKN, Candra Darusman, dalam wawancara dengan media nasional menyatakan bahwa setiap penggunaan suara, termasuk suara alam, yang diambil dari katalog rekaman resmi tetap wajib membayar royalti. Misalnya, jika seorang kreator menggunakan suara burung dari perpustakaan suara milik produser rekaman atau label tertentu dalam film, iklan, atau video komersial, maka mereka tetap diwajibkan membayar royalti sebagaimana menggunakan lagu atau musik.
Pernyataan ini segera memicu kebingungan. Banyak masyarakat awam beranggapan, suara alam adalah milik publik dan tidak bisa dimonopoli. Namun, LMKN menegaskan bahwa yang dilindungi bukan suara burung di alam liar, melainkan rekaman suara burung yang telah dikurasi, direkam, diedit, dan menjadi bagian katalog karya cipta oleh seorang produser atau label rekaman.
Reaksi Industri dan Publik
Di media sosial, banyak yang menertawakan hingga menyindir kebijakan ini sebagai “absurd”. Namun, dari sudut pandang hukum, para pakar justru melihat urgensi perlindungan terhadap karya rekaman—termasuk suara alam—demi keadilan ekonomi bagi pencipta, produser, dan pelaku industri kreatif.
Landasan Hukum: Apakah Suara Alam Bisa Jadi Objek Royalti?
Perlindungan Hak Cipta Menurut UU
UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menegaskan bahwa hak cipta diberikan kepada pencipta atas karya yang bersifat orisinal dan diungkapkan dalam bentuk nyata, termasuk lagu, musik, rekaman suara, hingga karya audio-visual lainnya. Royalti menjadi hak ekonomi yang wajib dibayarkan kepada pencipta dan pemilik hak terkait ketika karyanya dipakai untuk keperluan komersial.
Dalam konteks suara alam, yang mendapat perlindungan bukan suara burung di hutan, tapi hasil rekaman suara burung yang telah melalui proses produksi—mulai dari perekaman, editing, mixing, hingga mastering. Rekaman tersebut diakui sebagai karya cipta karena ada unsur kreativitas, keahlian teknis, serta biaya produksi.
Preseden Global: Kasus di Dunia Internasional
Fenomena perlindungan royalti suara alam tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat dan Eropa, rekaman suara alam yang diedarkan dalam format komersial (CD, digital, library audio) juga dilindungi hak cipta. Setiap penggunaannya di film, game, atau iklan harus mendapat izin dan membayar royalti kepada produser rekaman atau pemilik katalog.
Studi Kasus: Bagaimana Royalti Suara Alam Diterapkan?
Penggunaan Suara Alam dalam Industri Film dan Musik
Produser film, musisi, hingga youtuber kerap memanfaatkan library suara alam seperti suara hujan, petir, burung, air terjun, atau hutan malam untuk memperkuat suasana dan kualitas produksi. Mereka biasanya mengambil dari katalog perpustakaan suara profesional (seperti BBC Sound Effects, FreeSound, atau library lokal).
Jika katalog tersebut berlisensi, pengguna wajib membayar royalti sesuai ketentuan. Hal ini juga berlaku pada platform musik streaming yang menampilkan track “nature sound” dengan komposisi dan editing tertentu.
Perbedaan antara Suara Alam Bebas dan Rekaman Berhak Cipta
Penggunaan suara alam yang direkam sendiri di lapangan dan tidak diedarkan secara komersial tidak masuk objek royalti LMKN. Namun, jika suara tersebut diambil dari rekaman profesional milik label/industri, wajib ada izin dan pembayaran royalti. Di sinilah letak pentingnya edukasi pada masyarakat dan kreator agar tidak asal pakai.
Proses Penarikan dan Pembayaran Royalti
Prosedur LMKN untuk Pengguna Suara Alam Berhak Cipta
LMKN mengatur mekanisme penarikan royalti melalui sistem lisensi kolektif. Pelaku industri yang ingin menggunakan katalog rekaman suara (termasuk suara alam) bisa mengajukan permohonan ke LMKN, memilih paket lisensi, dan membayar sesuai penggunaan (per menit, per karya, atau sistem flat rate).
LMKN kemudian menyalurkan royalti ke pencipta, produser, atau pemilik hak sesuai data yang ada di database nasional. Proses ini juga diawasi oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan Badan Ekonomi Kreatif.
Tantangan dalam Pengawasan dan Penegakan
Masalah terbesar dalam industri royalti di Indonesia adalah kurangnya edukasi, lemahnya pengawasan, dan minimnya penegakan hukum. Masih banyak pelaku usaha yang memakai katalog suara tanpa izin, baik secara sengaja maupun karena tidak tahu. LMKN dan DJKI gencar melakukan sosialisasi dan penertiban, meskipun di lapangan kerap mendapat resistensi.
Pro Kontra dan Suara Publik: Royalti Suara Alam, Adil atau Absurd?
Pandangan Pro: Perlindungan Karya dan Ekonomi Kreatif
Pihak yang mendukung kebijakan LMKN menilai, royalti atas rekaman suara alam sah secara hukum karena ada proses kreatif dan produksi. Industri rekaman suara alam telah berkembang jadi bisnis bernilai miliaran, menyediakan lapangan kerja, dan mendorong lahirnya sound designer profesional. Tanpa perlindungan royalti, karya-karya rekaman mudah dibajak, kualitas turun, dan insentif untuk produksi berkurang.
Pandangan Kontra: Akses Publik dan Logika Alam
Sebaliknya, pihak yang kontra menilai kebijakan ini bisa membingungkan masyarakat, dan rentan disalahgunakan. Ada kekhawatiran, pelaku usaha kecil dan kreator independen jadi korban pungutan karena tidak memahami perbedaan antara suara alam liar dan rekaman profesional. Beberapa pakar menyarankan LMKN lebih fokus pada edukasi dan transparansi ketimbang penegakan hukum kaku.
Catatan Ketua LMKN: Klarifikasi dan Edukasi untuk Masyarakat
Ketua LMKN menegaskan, royalti hanya berlaku pada suara alam yang sudah menjadi karya rekaman resmi, bukan suara alam yang diambil langsung oleh masyarakat. LMKN tidak pernah memungut royalti atas suara burung atau gemericik sungai yang direkam sendiri untuk kepentingan non-komersial.
Edukasi pada masyarakat sangat penting, agar tidak timbul salah kaprah. LMKN, DJKI, dan pelaku industri kreatif harus bersinergi menghadirkan aturan yang adil, transparan, dan tidak memberatkan kreator kecil.
Masa Depan Royalti Suara Alam di Era AI dan Digital
Tantangan Teknologi: AI, Deepfake, dan Generative Sound
Dengan hadirnya AI generatif, kini suara alam bisa “diciptakan” secara digital tanpa harus rekaman di alam. Tantangan ke depan, bagaimana membedakan suara alam asli dengan hasil AI? Apakah rekaman digital suara hutan buatan berhak atas royalti? Dunia sedang mencari regulasi baru untuk menanggapi perkembangan ini.
Kolaborasi Industri dan Keadilan untuk Kreator
Ke depan, diperlukan kolaborasi antara LMKN, pemilik hak cipta, pengguna, dan regulator untuk menciptakan ekosistem royalti yang sehat. Regulasi yang adaptif, transparan, dan mengedepankan edukasi adalah kunci agar tidak ada pihak yang dirugikan, baik produser maupun pengguna karya suara alam.
Bijak Menggunakan, Bijak Menghargai
Polemik suara alam dan royalti menjadi momentum penting untuk mengedukasi masyarakat tentang hak cipta di era digital. Ketua LMKN menegaskan, tidak semua suara alam dipungut royalti, hanya rekaman berhak cipta. Bijak menggunakan karya orang lain berarti juga menghargai jerih payah, kreativitas, dan hak ekonomi para pencipta.
Dengan memahami regulasi, kreator dan masyarakat bisa lebih aman, produktif, dan tidak terjebak dalam masalah hukum yang merugikan. Industri kreatif Indonesia pun bisa tumbuh sehat, adil, dan berdaya saing di kancah global.