Gelombang perbincangan tentang American Eagle kembali menguat pada akhir Juli hingga awal Agustus 2025 setelah kampanye denim terbarunya memicu pro dan kontra di media sosial. Dalam iklan yang menampilkan aktris Sydney Sweeney dengan slogan “has great jeans”, permainan kata antara jeans dan genes dipersoalkan publik, memantik isu sensitif seputar eugenika dan penggambaran standar kecantikan. Perdebatan cepat melebar menjadi ajang tarik-menarik opini, dari ruang fashion hingga ranah politik budaya pop.
Apa yang Memicu Gelombang Kontroversi 2025?
Kampanye video memperlihatkan Sweeney berbicara tentang sifat keturunan seperti warna rambut dan mata, lalu menutup dengan kalimat “My jeans are blue”. Bagi sebagian penonton, nuansa permainan kata itu terasa mengganggu karena dianggap beresonansi dengan wacana lama tentang “gen” ideal, sementara yang lain menilainya sekadar humor ringan khas periklanan denim. Fakta bahwa figur sebesar Sweeney menjadi wajah kampanye membuat percikan kecil berubah jadi badai percakapan massal.
Respons American Eagle
Setelah beberapa hari diam, American Eagle memublikasikan pernyataan klarifikasi yang menegaskan bahwa kampanye tersebut “sejak awal hanya tentang jeans, caranya bercerita, dan rasa percaya diri saat memakainya”. Merek menutup dengan frasa yang menekankan inklusivitas tampilan denim. Klarifikasi ini meredakan sebagian kritik, tetapi juga mendapat tanggapan bahwa respons datang agak terlambat.
Reaksi Publik dan Sentimen Politik
Kontroversi kian membesar ketika tokoh politik dan akun institusi ikut berkomentar. Presiden AS terdahulu memuji kampanye tersebut, sementara sebagian figur hiburan mengejek atau memparodikan. Bahkan saudara Sweeney mengunggah candaan “good jeans” saat merayakan promosi di Angkatan Udara, yang ikut memviralkan topik ini. Di sisi lain, beberapa kolumnis menilai hiruk pikuk ini mencerminkan polarisasi budaya yang menjadikan tubuh perempuan sebagai medan debat.
Narasi ‘Propaganda’ dan Perang Makna
Di tengah riuhnya debat, tidak sedikit warganet dan komentator budaya yang menyebut kampanye ini sebagai propaganda. Istilah propaganda dipakai untuk menuding adanya upaya sistematis membentuk cara pikir publik melalui simbol, kata, dan pengulangan pesan. Baik atau buruknya penilaian itu bergantung pada kacamata masing masing, namun fakta bahwa sebutan ini muncul menandakan ada ketegangan antara kreativitas iklan dan sensitivitas sosial.
Mengapa Label Propaganda Muncul
Sejumlah pihak menilai permainan kata, pemilihan figur, dan penekanan pada keturunan dibaca sebagai strategi framing. Ketika unsur unsur ini dihadirkan bersamaan, sebagian audiens merasakannya sebagai dorongan halus untuk menerima gagasan tertentu tentang kualitas dan warisan sembari mengasosiasikannya dengan rasa percaya diri saat memakai produk.
Teknik Persuasi yang Dipersoalkan
Perdebatan sering menyentuh teknik copywriting sugestif, visual yang memusat, dan repetisi slogan di berbagai kanal. Unsur unsur tersebut lazim dalam periklanan modern, tetapi cap propaganda muncul ketika publik menilai pesan terlalu menonjolkan satu tipe citra dan menyisihkan keragaman pengalaman tubuh.
Tanggapan Balik dari Brand dan Komunitas
Di sisi lain, pendukung kampanye memandang tudingan propaganda berlebihan. Menurut mereka, narasi utamanya adalah humor tentang jeans dan rayuan khas iklan yang tidak perlu dibaca politis. Mereka menilai cukup dengan memperbaiki konteks dan memperjelas maksud, kontroversi bisa diselesaikan tanpa melabeli karya kreatif sebagai agenda ideologis.
Pelajaran Literasi Media untuk Pembaca
Bagi pembaca, kunci utamanya adalah kesadaran bahwa iklan memang dirancang mempengaruhi emosi dan keputusan belanja. Tanyakan tiga hal sederhana saat menonton kampanye apa pun. Siapa yang berbicara. Pesan apa yang diulang. Nilai apa yang ingin ditanam. Dengan kerangka itu, kita tetap bisa menikmati kreativitas iklan sambil menjaga jarak kritis.
Contoh Narasi Propaganda di Linimasa
Di puncak viralnya, linimasa dipenuhi istilah seperti propaganda, dog whistle, eugenika, dan brainwashing. Pola percakapan yang muncul relatif seragam. Pertama, pengguna menyorot pemilihan kata genes dan framing visual yang dianggap menekankan ciri fisik tertentu. Kedua, keterlibatan figur publik membuat pesan terasa lebih otoritatif. Ketiga, reaksi tokoh politik ikut memperkeras tafsir bahwa iklan bukan sekadar jualan, melainkan mengusung gagasan yang lebih luas.
Bagaimana Memeriksa Klaim Propaganda
Agar tetap kritis tanpa terjebak histeria, pembaca bisa memakai tiga langkah sederhana. Baca naskah iklan dan perhatikan apa yang diulang, lalu bandingkan dengan variasi materi kampanye lain untuk melihat konsistensi pesan. Telusuri konteks produksi, seperti siapa figur, waktu rilis, dan platform distribusi, karena konteks mempengaruhi tafsir. Periksa respons resmi dan klarifikasinya, apakah memperjelas arah pesan atau justru membuka ruang tafsir baru. Dengan cara ini, kita menilai secara proporsional apakah label propaganda tepat atau berlebihan.
Implikasi Brand Safety dan Buycott
Cap propaganda cenderung memicu dua konsekuensi berlawanan. Sebagian audiens mengancam boikot karena menilai pesan problematik. Di saat yang sama, kelompok lain melakukan buycott atau pembelian dukungan sebagai aksi tandingan. Bagi merek, situasi ini menghadirkan risiko reputasi sekaligus peluang jangka pendek. Kuncinya ada pada kesiapan komunikasi krisis, kejelasan nilai yang ingin ditegaskan, dan kemampuan menjaga percakapan tetap sehat di kanal resmi.
Dampak Bisnis Jangka Pendek
Di tengah sorotan, ada indikasi bahwa publisitas belum serta merta mengangkat kinerja ritel. Laporan pasar mencatat lalu lintas gerai dan performa saham yang belum membaik signifikan dibandingkan tekanan sebelumnya pada 2025. Efek jangka menengahnya masih perlu dipantau, sebab badai viral sering menghasilkan lonjakan awareness tanpa selalu berbuah penjualan.
Perdebatan Etis di Balik Denim
Pertarungan opini soal iklan ini membuka kembali tiga perbincangan lama tentang industri jeans: representasi, transparansi pemasaran, dan jejak rantai pasok.
Representasi Tubuh dan Gagasan “Ideal”
Sebagian kritik melihat estetika kampanye sebagai pengulangan arketipe “bom pirang” yang mudah dieksploitasi untuk menjual fantasi lama tentang feminitas. Analisis budaya pop menilai persoalannya tidak hanya pada Sweeney atau American Eagle semata, melainkan pada kegemaran industri menghidupkan ulang stereotipe lama demi daya jual.
Transparansi Pemasaran dan Klaim yang Membingungkan
Awal 2025, American Eagle juga sempat disebut di media hiburan karena unggahan berbayar yang dianggap “menempel” pada momen jeans viral Super Bowl Kendrick Lamar. Publik segera mengonfirmasi bahwa celana yang dipakai Lamar adalah Celine, bukan American Eagle. Meski bukan skandal hukum, momen ini dipakai netizen sebagai contoh mengapa merek harus ekstra hati-hati ketika menautkan diri pada tren besar.
Rantai Pasok, Kapas, dan Xinjiang
Isu jeans tidak bisa lepas dari asal bahan baku. AEO Inc. sudah menyatakan sejak 2020 melarang bahan atau produksi dari Xinjiang dan memperluas daftar wilayah serta entitas terlarang pada 2022. Namun studi dan pantauan industri di tahun-tahun berikutnya menunjukkan betapa rumitnya benar-benar memastikan kapas bebas dari wilayah berisiko, sehingga transparansi dan pengujian forensik rantai pasok tetap menjadi pekerjaan rumah seluruh sektor.
Kualitas, Ukuran, dan Pengalaman Pelanggan
Di ranah konsumen, American Eagle punya basis penggemar loyal karena potongan yang dianggap nyaman, tetapi keluhan tentang inkonsistensi ukuran dan penyusutan pasca cuci juga ramai di TikTok dan forum. Ini bukan isu eksklusif AE, melainkan gejala umum fast fashion denim. Saran yang kerap muncul dari komunitas belanja adalah mengandalkan ukuran berbasis centimeter, membaca ulasan, dan memanfaatkan kebijakan retur.
Komitmen Keberlanjutan American Eagle
Di sisi keberlanjutan, AEO memayungi lini “Real Good” yang menandai produk berfokus planet, termasuk penggunaan serat daur ulang, Better Cotton, serta pengurangan air dan energi dalam proses laundry denim. Target perusahaan mencakup daur ulang 70 persen air di pabrik laundry jeans, pemangkasan jejak karbon, hingga transisi energi terbarukan. Laporan perusahaan menyebut kemajuan penghematan air per celana dan perluasan standar Water Leadership Program pada pabrik rekanan.
“Menurut saya, inti kontroversi denim American Eagle 2025 bukan sekadar soal kata jeans dan genes. Ini adalah uji stres terhadap cara merek membaca sensitivitas budaya hari ini. Kreativitas iklan perlu keberanian, tetapi keberanian yang cerdas mensyaratkan empati, konteks sejarah, dan kesiapan bertanggung jawab ketika pesan menyasar di luar harapan.”
Apa Maknanya bagi Pembaca di Indonesia?
Bagi konsumen Tanah Air yang mengincar jeans American Eagle, ada beberapa poin praktis yang bisa dijadikan pegangan agar keputusan belanja tetap rasional.
1. Periksa Label dan Material
Cari penandaan “Real Good” dan cek komposisi bahan. Campuran katun dengan elastane memberi kenyamanan, sedangkan kain dengan porsi poliester tinggi cenderung lebih tahan kerut tetapi berbeda rasa di kulit. Laman resmi AE menjelaskan filosofi Real Good dan material yang digunakan.
2. Ukuran Berbasis Angka Riil
Gunakan meteran untuk pinggang serta inseam lalu cocokkan ke tabel ukuran. Jika belanja online lintas negara, pertimbangkan review pemakai dan kebijakan retur penjual agar aman ketika ada selisih standar ukuran. Diskursus komunitas menunjukkan variasi ukuran bisa terjadi antar rilisan.
3. Tanyakan Asal Produksi dan Praktik Pabrik
Brand sudah menegaskan kebijakan larangan pemasokan dari wilayah berisiko. Tidak ada salahnya menanyakan seller tentang pabrik produksi dan sertifikasi pihak ketiga. Bagi sebagian pembeli, transparansi asal bahan menjadi nilai tambah yang setara pentingnya dengan gaya potongan.
Benarkah Ini “Badai di Cangkir Teh”?
Sebagian analis melihat ini sebagai badai di cangkir teh yang memperlihatkan betapa mudahnya iklan fesyen terseret ke arus perang budaya. Namun bagi merek sebesar American Eagle, pelajaran utamanya jelas. Saat kata, gambar, dan figur pop bertemu, tafsir publik bisa liar. Itulah mengapa signifikan untuk melakukan uji sensitivitas lintas tim, merancang skenario krisis, dan menyusun respons cepat yang konsisten di semua kanal. Jika itu dilakukan, kontroversi bisa jadi momentum untuk mempertegas nilai merek, bukan sekadar trending sesaat.
Kontroversi jeans American Eagle 2025 mengingatkan kita bahwa denim bukan hanya kain. Ia adalah simbol budaya, medium narasi, juga cermin ekosistem industri yang kompleks dari ladang kapas hingga rak ritel. Konsumen berhak menuntut kejelasan dan empati, sementara brand berkewajiban menjaga kreativitas tanpa mengabaikan konteks. Pada akhirnya, kualitas dialog antara keduanya akan menentukan apakah sebuah celana jeans hanya viral, atau benar-benar bernilai.