Kebijakan Amerika Serikat menaikkan tarif impor hingga 32% untuk produk-produk asal Indonesia menambah tekanan berat pada perekonomian nasional. Di tengah pemulihan pasca pandemi, Indonesia dihadapkan pada tiga isu besar: bea masuk AS yang melonjak tajam, lesunya konsumsi masyarakat, dan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor. Kondisi ini membayangi proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang 2025.
Tarif AS Melonjak: Bencana Baru untuk Industri Ekspor
Amerika Serikat sejak awal Agustus 2025 telah mengimplementasikan tarif bea masuk baru yang mencapai rata-rata 32% untuk produk utama dari Indonesia. Kebijakan ini menempatkan RI di daftar 89 negara yang terkena kenaikan tarif. Produk padat karya seperti tekstil, sepatu, furniture, hingga kelapa sawit menjadi yang paling terdampak. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor sawit RI ke AS bisa turun 15-20%. Sementara pelaku industri tekstil dan garmen memperkirakan penurunan ekspor dapat menyebabkan PHK besar-besaran.
Tekanan tarif ini bukan hanya berdampak pada penurunan pesanan ekspor, tapi juga menggerus daya saing Indonesia di pasar global. Negara-negara pesaing seperti Vietnam, Thailand, dan Kamboja—yang masih menikmati tarif preferensial atau GSP—mampu menjual produk dengan harga lebih murah ke pasar AS.
Dampak Kenaikan Tarif terhadap Industri Padat Karya
Industri padat karya menjadi korban paling nyata. Dengan biaya masuk ke AS yang membengkak, sejumlah pabrik tekstil, alas kaki, dan produk olahan mulai melakukan efisiensi tenaga kerja. Proyeksi PHK di sektor tekstil dan sepatu bisa mencapai 1,2 juta orang jika permintaan AS tidak pulih dalam waktu dekat. PHK massal ini juga berpotensi menular ke sektor logistik, kemasan, dan transportasi.
Gelombang PHK sebenarnya sudah mulai terjadi sejak awal tahun. Pada Februari 2025 saja, lebih dari 15.000 pekerja di-PHK, dan angkanya terus bertambah seiring penurunan pesanan ekspor dan permintaan domestik yang lesu. Kondisi ini menjadi alarm bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat pekerja.
Konsumsi Lesu dan Kontraksi Daya Beli
Kebijakan tarif AS menambah tekanan pada konsumsi domestik yang sejak awal 2025 memang sudah stagnan. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) jatuh ke level 117,5 pada Mei 2025, posisi terendah sejak 2022. Penjualan kendaraan bermotor, elektronik rumah tangga, dan produk konsumsi harian mengalami penurunan signifikan. Lesunya daya beli masyarakat juga tercermin dari anjloknya penjualan ritel dan perlambatan penyerapan kredit konsumsi.
Sektor manufaktur pun ikut merasakan dampaknya. Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia bertahan di bawah 50 selama beberapa bulan terakhir, menandakan industri berada dalam fase kontraksi. Keterpurukan ini diperparah oleh menurunnya ekspor akibat tarif AS, sehingga utilisasi pabrik tidak lagi optimal.
Efek Domino: Dari Pabrik ke Pasar Kerja Nasional
Gelombang PHK yang terjadi di sektor ekspor dengan cepat merembet ke pasar kerja nasional. Selain tenaga kerja langsung di industri, lapangan kerja di bidang logistik, distribusi, pemasok bahan baku, bahkan sektor informal turut tertekan. Penurunan aktivitas industri membuat banyak pekerja kontrak dan harian lepas kehilangan pendapatan. Hal ini turut mendorong naiknya angka pengangguran terbuka, mengancam stabilitas sosial dan ekonomi lokal.
Laporan serikat pekerja menunjukkan, pada semester pertama 2025 saja, terdapat lebih dari 45 ribu kasus PHK baru yang terekam. Mayoritas berasal dari kawasan industri di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten, yang merupakan sentra manufaktur ekspor RI.
Ketergantungan pada Ekspor dan Risiko Rupiah
Kenaikan tarif AS memperparah risiko eksternal bagi rupiah. Ketergantungan ekspor RI pada pasar AS masih sangat tinggi, terutama untuk produk padat karya. Pelemahan ekspor berarti tekanan pada arus devisa, sehingga rupiah makin rentan terhadap gejolak nilai tukar global. Ekonom memperingatkan jika ekspor tidak segera pulih dan konsumsi domestik tetap lemah, risiko depresiasi rupiah dan arus modal keluar akan semakin besar.
Selain itu, pemerintah menghadapi tekanan fiskal: penerimaan pajak ekspor turun, sementara belanja perlindungan sosial dan subsidi untuk menahan daya beli harus ditingkatkan. Ini membuat defisit anggaran makin sulit dikendalikan, memperbesar risiko pembiayaan.
Kebijakan Pemerintah: Negosiasi, Stimulus, dan Diversifikasi
Diplomasi Tarif dan Lobi Internasional
Pemerintah Indonesia, lewat Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan, berupaya melakukan negosiasi tingkat tinggi dengan AS. RI mengusulkan penurunan tarif dengan imbalan pembukaan akses pasar serta investasi AS ke Indonesia. Hingga Juli 2025, negosiasi masih berlangsung, namun tekanan politik dalam negeri AS membuat proses menjadi rumit.
Diversifikasi Pasar Ekspor
Pemerintah juga mendorong pengalihan ekspor ke negara non-AS seperti negara ASEAN, Timur Tengah, BRICS, dan Amerika Latin. Upaya ini tidak mudah karena tiap pasar memiliki regulasi dan hambatan tersendiri. Namun, langkah diversifikasi dianggap sebagai solusi jangka menengah agar RI tidak terlalu tergantung pada pasar tunggal.
Stimulus Ekonomi dan Perlindungan Sosial
Sebagai respons, pemerintah mengalokasikan stimulus hingga US$1,5 miliar dalam bentuk subsidi upah, bantuan sosial, hingga pemotongan tarif transportasi publik. Stimulus ini ditujukan untuk menahan penurunan konsumsi rumah tangga dan menekan laju PHK. Selain itu, pemerintah mendorong pelatihan ulang dan penempatan tenaga kerja ke sektor-sektor yang masih tumbuh.
Reformasi Struktural
Ekonom dari lembaga pemeringkat global menilai RI harus mempercepat reformasi struktural, termasuk deregulasi investasi, perbaikan logistik, dan peningkatan efisiensi industri. Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat daya saing produk RI di pasar global dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan kebijakan negara mitra.
Proyeksi dan Risiko: Jalan Panjang Menuju Pemulihan
Prospek ekonomi RI untuk 2025 menjadi lebih menantang. Fitch Ratings, Reuters, dan sejumlah analis memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat ke 4,8-4,9%—di bawah target APBN. Risiko stagflasi, yakni pertumbuhan rendah dengan inflasi tinggi dan pengangguran naik, semakin nyata jika tekanan tarif dan pelemahan konsumsi tidak segera diatasi.
Namun, peluang tetap ada. Jika negosiasi tarif membuahkan hasil dan stimulus efektif dijalankan, ekonomi bisa kembali tumbuh pada semester kedua. Selain itu, peluang investasi baru dari relokasi industri akibat perang dagang global masih terbuka, jika RI mampu memperbaiki ekosistem bisnis dan birokrasi.
Waspada, Adaptif, dan Terus Berbenah
Kenaikan tarif AS, konsumsi domestik yang lesu, dan lonjakan PHK merupakan tantangan nyata bagi ekonomi Indonesia tahun ini. Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan serta adaptif terhadap dinamika global. Kunci utama terletak pada diplomasi efektif, reformasi struktural, dan akselerasi diversifikasi pasar ekspor. Hanya dengan langkah cepat dan terkoordinasi, RI bisa melewati ancaman ekonomi baru dan kembali menumbuhkan harapan pemulihan jangka menengah-panjang.
Radar Tulungagung adalah situs portal berita lokal yang menyediakan informasi terkini, aktual, dan terpercaya seputar Kabupaten Tulungagung dan sekitarnya.
Sebagai sumber berita yang profesional, Radar Tulungagung menyajikan berbagai topik menarik mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga gaya hidup dan olahraga.