Pernyataan kontroversial anggota DPR RI Fadli Zon yang membantah adanya pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 menuai kecaman luas. Fadli menyatakan bahwa “tidak ada bukti” soal pemerkosaan sistematis terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan tersebut. Namun, pernyataan ini dianggap menyesatkan dan berpotensi menutup luka sejarah yang hingga kini belum sepenuhnya disembuhkan.
Sejarah Mei 1998: Kilas Balik Tragedi Nasional
Kerusuhan Sosial dan Penggulingan Rezim Orde Baru
Kerusuhan yang meletus pada 13–15 Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota besar seperti Solo dan Medan menjadi momen krusial yang mempercepat tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto. Selain pembakaran dan penjarahan, muncul laporan adanya kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa.
Lahirnya TGPF dan Temuan Awal
Pemerintah Presiden BJ Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki kerusuhan tersebut. TGPF menemukan indikasi kuat bahwa terjadi pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa secara sistematis, meskipun jumlah pastinya sulit diungkap karena korban banyak yang enggan melapor akibat trauma dan ancaman.
Fakta dan Data dari Lembaga Resmi
Komnas Perempuan dan Komnas HAM
Komnas Perempuan mencatat paling tidak 85 kasus kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998, sebagian besar dialami oleh perempuan Tionghoa. Komnas HAM menyebut bahwa kasus tersebut termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Data ini diperoleh melalui kesaksian korban, keluarga, dan tim medis yang melakukan pendampingan.
Laporan Internasional dan Penelitian Akademik
Laporan dari Human Rights Watch dan US State Department mendukung klaim bahwa terjadi pemerkosaan massal dan kekerasan rasial. Akademisi seperti Dr. Elizabeth Pisani dan riset dari Universitas Indonesia juga menegaskan temuan serupa. Konsistensi data dari berbagai sumber memperkuat dugaan bahwa kekerasan seksual memang terjadi.
Kontroversi Fadli Zon dan Reaksi Publik
Pernyataan yang Memicu Amarah
Fadli Zon menyebut bahwa isu pemerkosaan massal tidak bisa diverifikasi dan menyarankan agar tidak menjadikannya sebagai fakta sejarah. Hal ini langsung memicu reaksi keras dari aktivis HAM, akademisi, serta komunitas Tionghoa Indonesia yang merasa dilecehkan oleh pernyataan tersebut.
Kecaman dari Amnesty International dan LSM
Amnesty International Indonesia, Komnas Perempuan, serta Yayasan Pulih menyatakan bahwa pernyataan Fadli merupakan bentuk penyangkalan sejarah yang berbahaya. Mereka menekankan bahwa bukti dan kesaksian korban sudah cukup kuat untuk menjadikan isu ini sebagai pelanggaran HAM yang harus diakui negara.
Hambatan dalam Penuntasan Kasus
Trauma Korban dan Minimnya Perlindungan
Salah satu hambatan utama dalam penuntasan kasus ini adalah minimnya perlindungan bagi korban. Banyak korban yang enggan bicara karena takut diintimidasi. Tidak adanya Undang-Undang Kekerasan Seksual pada waktu itu membuat kasus sulit dibawa ke ranah hukum.
Impunitas dan Ketidaksiapan Aparat
Kendati laporan telah disampaikan sejak 1998, tidak satu pun pelaku yang diadili secara formal atas tuduhan kekerasan seksual dalam kerusuhan tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya impunitas serta minimnya keinginan politik untuk menyelesaikan kasus secara tuntas.
Narasi Sejarah dan Pentingnya Pengakuan
Penghapusan Fakta Sejarah
Sejarah kekerasan Mei 1998 semestinya menjadi pelajaran bangsa. Penyangkalan dari tokoh publik seperti Fadli Zon dinilai dapat memperparah trauma korban dan merusak upaya rekonsiliasi. Kesaksian korban dan data dari berbagai lembaga resmi seharusnya menjadi acuan utama dalam menulis ulang sejarah nasional.
Kebutuhan Akan Rekonsiliasi Nasional
Kebenaran sejarah dan pengakuan negara atas kekerasan masa lalu menjadi dasar rekonsiliasi nasional yang sehat. Tanpa itu, luka sejarah akan terus menganga. Masyarakat sipil menyerukan pembentukan kembali forum penyelidikan nasional yang lebih kuat dan independen.
Fakta Tidak Boleh Dibantah
Kasus pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 bukanlah mitos atau cerita tanpa dasar. Berbagai lembaga telah membuktikan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi, meskipun sulit diusut secara hukum karena berbagai kendala struktural. Pernyataan Fadli Zon tidak hanya menyakiti korban dan keluarga, tetapi juga mencoreng upaya panjang aktivis dan pejuang HAM untuk menjaga integritas sejarah Indonesia. Kebenaran harus terus diperjuangkan, agar bangsa ini tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama.
Radar Tulungagung adalah situs portal berita lokal yang menyediakan informasi terkini, aktual, dan terpercaya seputar Kabupaten Tulungagung dan sekitarnya.
Sebagai sumber berita yang profesional, Radar Tulungagung menyajikan berbagai topik menarik mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga gaya hidup dan olahraga.