Table of Contents
Ungkapan “kacang lupa kulitnya” sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat seseorang melupakan jasa atau kebaikan orang lain setelah ia mencapai keberhasilan. Fenomena ini semakin relevan di era digital saat ini, di mana relasi antar manusia mudah terputus dengan satu klik “blokir” atau “hapus kontak”. Tapi bagaimana pandangan agama, etika, dan sosial mengenai hal ini?
Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang hukum dan nilai moral dari sikap tidak tahu balas budi, dari perspektif agama Islam, norma sosial, dan implikasinya dalam hubungan manusia modern.
Makna Peribahasa “Kacang Lupa Kulitnya”
Sebelum masuk ke pembahasan hukum, kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan peribahasa ini.
Asal-usul dan Filosofinya
Peribahasa “kacang lupa kulitnya” berasal dari penggambaran sederhana: kacang, sebagai buah, memiliki kulit yang melindunginya. Setelah isinya diambil, kulitnya dibuang. Ini menjadi metafora bagi orang yang melupakan asal usul, jasa, atau bantuan orang lain setelah dirinya merasa tidak lagi membutuhkan.
Konteks Sosial Modern
Di era digital dan serba instan, kita bisa menyaksikan banyak kasus di mana seseorang yang pernah dibantu—baik secara materi, moral, atau emosional—tiba-tiba menjauh atau bahkan memutus komunikasi ketika sudah tidak butuh lagi. Lebih menyakitkan lagi, mereka yang pernah menolong justru diblokir, dihapus, atau dilupakan seolah-olah tak pernah ada.
Pandangan Islam Terhadap Sifat Tidak Tahu Balas Budi
Agama Islam memberikan perhatian besar terhadap akhlak mulia dan etika dalam berhubungan antarmanusia. Salah satu nilai dasar yang dijunjung tinggi adalah syukur dan balas budi.
Hukum Melupakan Kebaikan Orang Lain
Dalam Islam, melupakan jasa orang lain bukan hanya perilaku tercela, namun bisa termasuk dalam perbuatan zalim jika disertai dengan pengingkaran secara sengaja.
“Barang siapa tidak mensyukuri manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan bahwa seseorang yang tidak tahu berterima kasih kepada sesama, secara tidak langsung juga mengingkari nikmat Allah. Artinya, hukum perbuatan ini sangat dikecam dalam Islam.
Akibat Buruk Memutus Silaturahmi
Memblokir orang yang pernah membantu kita tanpa alasan syar’i atau karena merasa sudah tidak butuh lagi, juga termasuk dalam kategori memutus silaturahmi. Dalam Islam, memutus silaturahmi tanpa alasan yang dibenarkan bisa berdampak sangat serius.
“Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturahmi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, tindakan memutus hubungan tanpa hak, apalagi terhadap orang yang pernah berjasa, adalah dosa besar.
Sudut Pandang Sosial dan Psikologis
Selain dari sisi agama, tindakan seperti ini juga berdampak buruk dalam kehidupan sosial dan kejiwaan seseorang, baik pelaku maupun korban.
Dampak Sosial dari Sifat Egois
Sikap melupakan jasa orang lain akan menyebabkan hubungan sosial menjadi rapuh. Ketika seseorang terbiasa memanfaatkan orang lain hanya saat butuh, maka lambat laun ia akan kehilangan kepercayaan dari lingkungannya. Ia dianggap oportunis, tidak loyal, dan tidak layak dijadikan sahabat atau rekan.
Psikologi Pelaku dan Korban
Orang yang suka memblokir orang lain setelah tidak butuh lagi menunjukkan karakter egosentris dan ketidakdewasaan emosional. Sementara di sisi korban, ini bisa menimbulkan rasa kecewa mendalam, trauma sosial, dan hilangnya semangat untuk berbuat baik.

Etika Moral dan Budaya Timur
Dalam budaya ketimuran, terutama Indonesia, nilai unggah-ungguh atau tata krama sangat dijunjung tinggi. Tidak tahu balas budi dianggap sebagai aib moral, bukan sekadar kesalahan.
Nilai-nilai Keutamaan dalam Budaya
Di Jawa dikenal istilah “eling lan waspada” — selalu ingat asal-usul dan bersikap hati-hati dalam bertindak. Melupakan jasa seseorang yang pernah membantu adalah bentuk tidak eling, dan sering dikaitkan dengan kehilangan nilai-nilai luhur sebagai manusia.
Mengapa Orang Bisa Jadi Seperti Itu?
Fenomena ini tidak serta-merta muncul tanpa sebab. Ada berbagai alasan mengapa seseorang berubah menjadi “kacang lupa kulitnya”.
1. Merasa Sudah Tidak Membutuhkan Lagi
Seseorang yang merasa sudah mandiri atau sukses kadang tidak ingin diingatkan pada masa lalunya, apalagi jika masa lalu tersebut dianggap “memalukan” atau “melemahkan citra”.
2. Ego dan Gengsi
Terkadang, ego membuat orang sulit mengakui bahwa dirinya pernah ditolong. Mereka merasa lebih berharga bila tampak berhasil sendirian.
3. Lingkungan dan Pengaruh Sosial
Lingkungan yang mendorong individualisme dan “toxic positivity” kadang menciptakan budaya “move on” secara ekstrem, termasuk memutus semua koneksi yang dianggap tidak menguntungkan lagi.
Hukum Blokir Orang yang Pernah Menolong
Pertanyaan paling penting: apa hukum secara agama untuk orang yang memblokir orang yang pernah menolongnya?
Ketika Memblokir Menjadi Dosa
Jika dilakukan dengan niat menyingkirkan orang yang telah berjasa karena merasa tak lagi butuh atau karena malu diingatkan masa lalu, maka perbuatan tersebut bisa berdosa besar karena mengandung unsur:
- Ingkar nikmat
- Memutus silaturahmi
- Sombong (takabbur)
Kapan Memblokir Diperbolehkan?
Namun demikian, ada kondisi di mana memblokir seseorang justru dibolehkan atau bahkan disarankan, misalnya:
- Saat orang tersebut melakukan kekerasan verbal atau manipulasi.
- Jika keberadaannya mengancam ketenangan batin atau keamanan.
- Jika hubungan tersebut toksik dan tidak sehat.
Namun tetap harus dilakukan dengan etika, tidak dengan cara menyakiti atau menyombongkan diri.
Jalan Tengah: Belajar Berterima Kasih dan Tetap Bijak
Tidak semua orang punya ingatan kuat untuk selalu mengingat kebaikan orang lain, namun bersyukur adalah kunci agar kita tidak jatuh dalam dosa ingkar.
Menumbuhkan Sikap Syukur
Biasakan untuk berterima kasih secara tulus, bahkan untuk hal kecil. Sebab dari sanalah akhlak baik berkembang.
Tidak Semua Harus Dibalas, Tapi Jangan Diabaikan
Kadang kita tak mampu membalas kebaikan orang lain, namun cukup dengan menghormatinya, menjaga hubungan baik, dan tidak menyakitinya, itu sudah menjadi bentuk penghargaan.
Jangan Jadi Kacang yang Lupa Kulitnya
Peribahasa ini bukan sekadar ungkapan, tetapi peringatan moral yang penting untuk kita renungkan. Jangan sampai kita menjadi sosok yang hanya mengingat orang saat butuh, dan membuangnya saat tak perlu. Sebab yang kita lakukan akan kembali kepada kita—baik cepat maupun lambat.
Dalam Islam, sosial, budaya, maupun etika kehidupan modern, sikap melupakan kebaikan dan memutus hubungan tanpa alasan yang benar adalah tindakan yang patut dihindari. Belajarlah untuk rendah hati, berterima kasih, dan terus menjaga hubungan dengan orang-orang yang pernah berarti dalam hidupmu.