Table of Contents
Dalam kehidupan modern yang penuh dinamika, tidak jarang seseorang dihadapkan pada situasi sosial yang kompleks. Salah satunya adalah fenomena menyusui anak tiri atau anak dari luar pernikahan. Pertanyaan besar yang sering muncul: bagaimana hukum Islam memandang tindakan menyusui anak tiri atau anak yang bukan hasil dari pernikahan sah? Apakah hal ini diperbolehkan, membawa dampak hukum mahram, atau justru dilarang?
Artikel ini akan membahasnya secara mendalam berdasarkan kajian fikih Islam, pendapat para ulama, dan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis yang relevan.
Konsep Menyusui dalam Islam: Antara Ibadah dan Implikasi Hukum
Islam memandang proses menyusui (radha’ah) bukan hanya sebagai proses biologis, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum yang jelas. Dalam banyak kasus, menyusui seorang anak dapat menyebabkan hubungan mahram, yang akan berdampak pada keabsahan pernikahan, interaksi antar lawan jenis, dan hak-hak dalam keluarga.
Dalil Al-Qur’an tentang Menyusui
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 233:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”
(QS. Al-Baqarah: 233)
Ayat ini menjadi dasar utama bahwa menyusui adalah bagian penting dalam kehidupan seorang anak. Namun, ketika menyusui dilakukan kepada anak yang bukan anak kandung, maka dibutuhkan penjelasan hukum yang lebih spesifik.
Menyusui Anak Tiri dalam Pandangan Hukum Islam
Anak tiri adalah anak dari pasangan (suami atau istri) yang berasal dari pernikahan sebelumnya. Secara hukum, ia tidak memiliki hubungan darah langsung dengan orang tua tirinya. Namun, jika terjadi proses menyusui yang sah menurut syariat, maka hubungan hukum bisa berubah.
Apakah Menyusui Anak Tiri Membuat Hubungan Mahram?
Menurut mayoritas ulama (jumhur), menyusui anak tiri oleh seorang perempuan (ibu tiri) dapat menyebabkan status mahram, asalkan memenuhi syarat-syarat syar’i. Ini berarti anak tersebut menjadi anak susu (radha’i) dan haram dinikahi oleh perempuan tersebut, serta berlaku hukum-hukum mahram lainnya.
Syarat Menyusui yang Menyebabkan Mahram
Para ulama menetapkan beberapa syarat agar proses menyusui menyebabkan hubungan mahram:
- Dilakukan dalam usia penyusuan (sebelum usia 2 tahun berdasarkan QS. Al-Baqarah: 233).
- Jumlah penyusuan cukup. Mazhab Syafi’i mensyaratkan 5 kali penyusuan yang mengenyangkan.
- Langsung dari payudara atau dengan cara yang setara (misalnya ASI perah yang diminum dengan niat menyusui).
- Dilakukan oleh perempuan yang bukan ibu kandung terhadap anak tersebut.
Jika semua syarat ini terpenuhi, maka anak tiri yang disusui akan menjadi anak susu, dan berlaku hukum mahram. Ini juga disebutkan dalam hadis shahih:
“Diharamkan karena penyusuan seperti yang diharamkan karena nasab.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh Kasus
Seorang wanita menikah dengan seorang duda yang memiliki anak perempuan berusia 1 tahun. Jika wanita itu menyusui anak tiri tersebut sebanyak 5 kali dalam masa penyusuan, maka:
- Anak itu menjadi anak susu bagi sang ibu tiri.
- Sang suami tetap bisa menikah dengan istri, karena hubungan mahram terjadi antara istri dan anak, bukan antara suami dan anak.
- Anak tersebut mahram bagi ibu tirinya.

Menyusui Anak dari Luar Pernikahan: Bagaimana Hukumnya?
Pertanyaan lain yang sering muncul adalah: bagaimana hukum menyusui anak yang lahir di luar nikah? Apakah ada larangan atau bahkan anjuran dalam hal ini?
Status Anak Luar Nikah dalam Islam
Dalam Islam, anak luar nikah tetap dihormati dan diberi hak hidup yang sama. Mereka tidak menanggung dosa orang tuanya. Namun, status nasabnya tidak dinisbatkan kepada ayah biologis, melainkan hanya kepada ibunya.
Bolehkah Menyusui Anak Luar Nikah?
Secara syariat, tidak ada larangan untuk menyusui anak luar nikah, baik oleh ibunya sendiri maupun oleh wanita lain. Hukum menyusuinya tetap sama seperti menyusui anak biasa. Jika wanita lain menyusui anak tersebut, maka akan berlaku hukum mahram apabila syarat-syaratnya terpenuhi.
Hadis Nabi SAW yang memperkuat prinsip keumuman menyusui:
“Apa yang diharamkan karena nasab, juga diharamkan karena penyusuan.”
(HR. Bukhari)
Artinya, Islam tidak membedakan status anak dari segi penerimaan penyusuan. Jadi menyusui anak dari luar nikah tetap sah dan dapat berdampak hukum mahram.
Pandangan Ulama tentang Menyusui Anak yang Bukan Anak Kandung
Imam Nawawi (Syafi’iyah)
Dalam kitab Al-Majmu’, Imam Nawawi menegaskan bahwa anak yang disusui dalam usia di bawah dua tahun oleh wanita lain, maka dia menjadi mahram dan tidak boleh dinikahi oleh wanita itu ataupun anak-anak laki-lakinya.
Imam Malik (Malikiyah)
Madzhab Maliki lebih longgar dalam hal jumlah penyusuan. Menurutnya, satu kali penyusuan pun dapat menyebabkan hubungan mahram, selama memberi efek kenyang atau pengisapan yang cukup.
Dampak Fikih: Hubungan Keluarga, Waris, dan Perwalian
Hubungan Mahram
Setelah menyusui sah secara syariat, anak yang disusui menjadi mahram muabbad (selamanya tidak boleh dinikahi) oleh ibu susu dan keluarganya yang sepadan.
Warisan
Anak susu tidak mendapatkan hak waris dari orang tua susunya karena tidak ada hubungan nasab. Warisan tetap hanya bisa melalui wasiat atau hibah.
Hak Asuh dan Nafkah
Jika seorang wanita menyusui anak yang bukan anak kandungnya, tidak serta-merta ia menjadi penanggung nafkah kecuali dalam kontrak tertentu (misalnya sebagai ibu susuan dalam perjanjian kafalah atau asuhan).
Menyusui sebagai Ibadah dan Tanggung Jawab Sosial
Dalam Islam, menyusui bukan hanya bentuk kasih sayang, tapi juga memiliki efek hukum yang mendalam. Baik menyusui anak tiri maupun anak dari luar pernikahan diperbolehkan, bahkan bisa menjadi bagian dari ibadah sosial dan kasih sayang antar sesama.
Namun, jika menyusui dilakukan dalam konteks fikih yang benar (jumlah penyusuan cukup, usia sesuai syariat), maka akan terjadi hubungan mahram yang berdampak panjang, terutama pada hukum pernikahan dan interaksi antar lawan jenis.
Hadis-Hadis Pendukung
- HR. Bukhari dan Muslim “Sesungguhnya penyusuan itu menjadikan haram (pernikahan), sebagaimana nasab menjadikan haram.”
- HR. Muslim “Tidak ada penyusuan kecuali dalam waktu dua tahun.”
- HR. Tirmidzi dan Abu Dawud “Penyusuan itu yang mengenyangkan dan dilakukan lima kali.”
Islam Menjawab Tantangan Zaman dengan Hukum yang Luwes
Dengan semakin berkembangnya bentuk keluarga modern—ada ibu tiri, anak asuh, hingga anak dari luar pernikahan—Islam hadir dengan hukum yang fleksibel namun tetap berlandaskan pada kemaslahatan dan akhlak. Menyusui dalam Islam bukan hanya soal nutrisi, melainkan juga soal akidah, fikih, dan hubungan antar manusia.
Sebagai Muslim, penting untuk memahami hakikat dan konsekuensi menyusui dalam berbagai konteks, agar tidak keliru dalam bersikap dan tetap berada di atas hukum Allah yang adil dan bijaksana.