Table of Contents
Solo, yang selama ini dikenal sebagai kota budaya dan tradisi Jawa, memiliki satu sisi kuliner yang sering menimbulkan pertanyaan: mengapa begitu banyak kuliner non halal ditemukan di kota ini? Padahal, mayoritas penduduknya beragama Islam. Fenomena ini tidak lepas dari jejak sejarah panjang, keragaman budaya, serta dinamika sosial yang unik di kota ini.
Akar Sejarah dan Jejak Komunitas Tionghoa
Peran Pecinan dan Masakan Non-Halal
Sejak abad ke-18, komunitas Tionghoa telah berkontribusi besar terhadap perkembangan sosial dan ekonomi Solo. Pemerintah kolonial Belanda saat itu menempatkan warga Tionghoa di kawasan belakang Pasar Gede, yang kini dikenal sebagai pusat Pecinan. Di sinilah awal mula masakan non halal, terutama berbasis daging babi, mulai berkembang di Solo.
Warga Tionghoa membawa serta tradisi kuliner mereka, termasuk teknik memasak dan bahan-bahan khas seperti minyak babi, babi panggang, dan olahan sosis. Seiring waktu, kuliner ini tidak hanya dikonsumsi oleh komunitas Tionghoa, tetapi juga diminati masyarakat luas karena rasanya yang khas dan teknik masaknya yang otentik.
Dampak Peristiwa Geger Pacinan
Peristiwa Geger Pacinan pada abad ke-18 juga mendorong perpindahan besar-besaran warga Tionghoa dari Batavia dan Semarang ke Solo. Mereka diterima oleh Kasunanan dan Mangkunegaran, dua kerajaan yang menjadi kekuatan politik utama di kota ini. Akulturasi budaya pun terjadi, termasuk dalam bentuk adaptasi makanan Tionghoa ke dalam tradisi kuliner lokal.

Masa Reformasi dan Kebebasan Ekspresi Budaya
Era Gus Dur dan Pelonggaran Budaya
Pada awal 2000-an, di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terjadi pelonggaran kebijakan terhadap budaya Tionghoa. Ini menjadi momentum penting bagi komunitas Tionghoa di Solo untuk mengekspresikan kembali identitas mereka, termasuk dalam bidang kuliner.
Warung makan dan restoran yang menyajikan makanan non halal seperti babi dan anjing mulai bermunculan dengan lebih terbuka. Hal ini memperluas lanskap kuliner Solo dan menciptakan ruang bagi beragam jenis makanan untuk eksis berdampingan.
Ragam Kuliner Non Halal di Solo
Sate Babi dan Tongseng Babi
Hidangan ini banyak ditemukan di sekitar Pecinan dan wilayah Laweyan. Menggunakan bumbu rempah khas Jawa dan teknik masak ala Tionghoa, sate dan tongseng babi menjadi ikon kuliner non halal di Solo.
Sate Jamu (Daging Anjing)
Meski kontroversial, sate jamu tetap eksis di beberapa titik di Solo. Penjualnya kerap menggunakan istilah sandi dan menjualnya secara terbatas kepada pelanggan tetap. Makanan ini merupakan peninggalan dari zaman kolonial dan sebagian dikonsumsi karena alasan tradisional.
Wedangan Non Halal
Beberapa angkringan atau wedangan di Solo kini juga menawarkan lauk-pauk berbasis daging babi seperti siomay, sate, dan nasi babi. Meskipun tidak semua terang-terangan, kuliner ini tetap eksis dan berkembang.

Polemik Informasi dan Transparansi
Kasus Ayam Goreng Widuran
Viralnya kasus Ayam Goreng Widuran yang menggunakan minyak babi tanpa pemberitahuan menjadi sorotan besar. Konsumen Muslim merasa dirugikan karena tidak diberi tahu secara jelas tentang bahan yang digunakan. Pemerintah Kota Solo pun akhirnya turun tangan dan meminta semua pelaku usaha mencantumkan label “non halal” secara eksplisit.
Imbauan Pemerintah Daerah
Melalui Dinas Perdagangan dan Dinas Pariwisata, Pemkot Solo meminta pelaku usaha kuliner non-halal untuk lebih transparan demi menghindari polemik. Ini dianggap penting untuk menjaga harmoni sosial di tengah keberagaman budaya dan agama di Solo.
Toleransi dan Kesadaran Budaya
Solo, Kota Multikultur
Meskipun mayoritas penduduk Solo adalah Muslim, toleransi terhadap perbedaan budaya dan keyakinan cukup tinggi. Keberadaan kuliner non-halal tidak serta-merta menjadi masalah selama ada kejelasan informasi.
Harmoni Sosial dan Nilai Lokal
Masyarakat Solo terbiasa hidup berdampingan dengan berbagai latar belakang etnis dan agama. Dalam konteks kuliner, hal ini tercermin dari banyaknya pilihan makanan yang tersedia, baik halal maupun non-halal, yang dapat hidup berdampingan di pasar dan pusat kuliner kota.

Budaya Kuliner Solo: Antara Warisan dan Kesadaran
Keberadaan kuliner non-halal di Solo bukanlah sebuah anomali, melainkan hasil dari sejarah panjang interaksi antar budaya yang membentuk identitas kota ini. Meski ada gesekan kecil seperti polemik label makanan, semangat toleransi dan keterbukaan tetap menjadi pilar utama keberlangsungan keragaman ini.
Penting bagi pelaku usaha untuk menjaga transparansi, dan bagi pemerintah untuk menjadi fasilitator dalam menciptakan ruang aman bagi semua bentuk ekspresi kuliner, tanpa mengorbankan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Solo, dengan segala kompleksitasnya, tetap menjadi kota yang merayakan keragaman di atas meja makan.