Gelombang aspirasi rakyat kembali menjadi tajuk utama dalam dinamika demokrasi Indonesia. Di tengah keresahan publik atas isu kenaikan tunjangan DPR, transparansi anggaran, dan kasus kekerasan terhadap demonstran, sebuah jargon baru lahir dan viral: 17+8 Tuntutan Rakyat. Angka ini bukan sekadar hitungan, melainkan simbol perlawanan moral sekaligus manifestasi kemarahan rakyat terhadap praktik-praktik yang dianggap menyimpang dari semangat reformasi.
Sejak diumumkan pada awal September 2025, jargon ini dengan cepat menyebar luas di media sosial, digaungkan oleh aktivis, mahasiswa, pekerja, hingga influencer. Tak butuh waktu lama, seruan tersebut menjadi trending topic dan bahkan diangkat dalam perbincangan publik nasional. Dalam konteks inilah, kita perlu memahami secara mendalam apa sebenarnya isi dari 17+8 Tuntutan Rakyat, siapa yang menjadi sasaran desakan, dan bagaimana tuntutan ini bisa menjadi momentum baru dalam sejarah pergerakan sipil di Indonesia.
Makna Simbolis Angka 17 dan 8
Tidak sembarangan, angka 17 dan 8 dalam tuntutan rakyat ini diambil dari tanggal kemerdekaan Indonesia: 17 Agustus. Pilihan tersebut memiliki makna mendalam karena merepresentasikan cita-cita kemerdekaan yang ingin kembali digelorakan. Para inisiator gerakan menilai bahwa cita-cita demokrasi, keadilan sosial, dan pemerintahan yang bersih kini kian jauh dari harapan rakyat.
Dengan menjadikan tanggal kemerdekaan sebagai simbol perjuangan, para penggagas ingin menegaskan bahwa aksi ini bukan sekadar gerakan reaktif terhadap isu sesaat. Sebaliknya, ini adalah seruan untuk mengembalikan semangat dasar bangsa yang sudah mulai luntur akibat praktik kekuasaan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil.
Isi 17 Tuntutan Jangka Pendek
Tujuh belas tuntutan pertama ditujukan untuk segera dipenuhi oleh pemerintah, DPR, partai politik, kepolisian, TNI, serta menteri di sektor ekonomi dalam waktu sepekan sejak tanggal satu September 2025. Desakan ini dilatarbelakangi oleh kasus kekerasan aparat terhadap demonstran pada aksi 28–30 Agustus 2025 yang menelan korban jiwa, serta keputusan DPR yang menyetujui kenaikan fasilitas dan gaji di tengah situasi ekonomi sulit.
1. Tarik TNI dari Pengamanan Sipil dan Pastikan Tidak Ada Kriminalisasi Demonstran
Poin pertama menegaskan bahwa pengamanan sipil adalah tugas Polri, bukan TNI. Pelibatan militer dalam penanganan aksi unjuk rasa dianggap menyalahi prinsip reformasi 1998. TNI hanya boleh bergerak di bidang pertahanan, bukan keamanan dalam negeri. Kriminalisasi demonstran juga menjadi sorotan, karena hak menyampaikan pendapat di muka umum dijamin konstitusi. Rakyat menuntut jaminan bahwa mahasiswa, buruh, dan warga yang turun ke jalan tidak lagi dituduh melakukan makar atau dikenakan pasal karet.
2. Bentuk Tim Investigasi Independen untuk Kasus Kekerasan Aparat
Kasus kematian Affan Kurniawan dan Umar Amarudin menjadi simbol korban kekerasan aparat saat aksi 28–30 Agustus. Tuntutan ini meminta pemerintah membentuk tim investigasi independen yang melibatkan akademisi, LSM, dan tokoh masyarakat, bukan hanya aparat negara. Mandatnya jelas: menyelidiki fakta lapangan, mencari pelaku, serta melaporkan hasilnya secara transparan ke publik.
3. Bekukan Kenaikan Gaji dan Fasilitas DPR
Kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR di tengah kondisi ekonomi sulit memicu gelombang kekecewaan. Rakyat meminta kebijakan ini segera dibekukan, termasuk fasilitas mewah seperti pensiun seumur hidup. Tuntutan ini dianggap simbol perlawanan terhadap gaya hidup elitis wakil rakyat yang dinilai tidak sejalan dengan penderitaan masyarakat.
4. Publikasi Transparansi Anggaran DPR
Masyarakat mendesak DPR membuka secara detail penggunaan anggaran, termasuk gaji, tunjangan, rumah dinas, hingga fasilitas lain. Transparansi dianggap jalan untuk memulihkan kepercayaan publik. Dengan publikasi anggaran secara online dan mudah diakses, rakyat bisa ikut mengawasi penggunaan dana negara.
5. Dorong Badan Kehormatan DPR untuk Bertindak Tegas
Badan Kehormatan DPR selama ini dianggap pasif dalam menindak anggota yang terjerat kasus atau perilaku tidak etis. Tuntutan rakyat mendorong lembaga internal ini melakukan pemeriksaan serius, bahkan berkoordinasi dengan KPK bila menyangkut dugaan korupsi.
6. Pecat atau Jatuhkan Sanksi Tegas kepada Kader DPR yang Tidak Etis
Selain DPR secara kelembagaan, rakyat juga menuntut partai politik tegas terhadap kadernya yang mencoreng nama baik institusi. Sanksi bisa berupa pemecatan, penarikan dari kursi legislatif, hingga larangan dicalonkan kembali.
7. Umumkan Komitmen Partai untuk Berpihak pada Rakyat
Di tengah krisis ekonomi dan politik, rakyat ingin mendengar pernyataan resmi partai bahwa mereka berdiri di sisi rakyat, bukan sekadar mengejar kepentingan elektoral. Komitmen ini akan menjadi ukuran awal keberpihakan partai.
8. Libatkan Kader dalam Dialog Publik
Tuntutan berikutnya mendorong partai dan DPR turun langsung ke masyarakat, berdialog dengan mahasiswa, buruh, dan organisasi sipil. Dialog ini diharapkan bisa menjadi sarana menjembatani jurang kepercayaan antara elit politik dan rakyat.
9. Bebaskan Seluruh Demonstran yang Ditahan
Ratusan demonstran disebut masih ditahan pasca aksi Agustus. Rakyat menuntut pembebasan mereka karena unjuk rasa adalah hak yang dijamin undang-undang. Tuntutan ini juga menyasar polisi dan kejaksaan agar tidak menggunakan pasal-pasal pidana untuk menekan kebebasan berpendapat.
10. Hentikan Kekerasan Polisi dan Taati SOP
Banyak video memperlihatkan tindakan brutal aparat dalam menghalau massa. Rakyat mendesak Polri menegakkan SOP pengendalian massa secara humanis, bukan represif. Aparat harus mengedepankan dialog dan pencegahan, bukan kekerasan fisik.
11. Tangkap dan Proses Hukum Pelaku Kekerasan
Lebih jauh, rakyat tidak hanya menuntut penghentian kekerasan, tetapi juga penegakan hukum. Anggota maupun komandan yang memerintahkan tindakan represif harus diproses secara transparan agar tidak terjadi impunitas.
12. Segera Kembali ke Barak, Hentikan Keterlibatan dalam Pengamanan Sipil
Tuntutan ini kembali menegaskan posisi TNI. Reformasi 1998 telah menetapkan bahwa TNI tidak lagi punya fungsi ganda. Keterlibatan mereka dalam proyek sipil atau pengamanan demonstrasi harus segera dihentikan.
13. Tegakkan Disiplin Internal TNI
Agar tidak terjadi lagi pelanggaran batas kewenangan, rakyat menuntut TNI memperketat disiplin internal. Prajurit harus tunduk pada aturan dan tidak boleh mengambil alih fungsi Polri dalam urusan sipil.
14. Komitmen Publik TNI untuk Tidak Masuk Ruang Sipil
TNI didorong membuat pernyataan resmi di depan publik bahwa mereka tidak akan terlibat dalam krisis demokrasi atau politik sipil. Komitmen ini penting sebagai jaminan agar rakyat merasa aman dari intervensi militer.
15. Pastikan Upah Layak untuk Seluruh Angkatan Kerja
Pekerja formal maupun informal menuntut penghasilan yang layak. Guru, buruh pabrik, tenaga kesehatan, hingga mitra ojol masuk dalam cakupan tuntutan ini. Rakyat ingin adanya standar upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup layak di seluruh Indonesia.
16. Ambil Langkah Darurat untuk Cegah PHK Massal
Lonjakan PHK menjadi momok pasca krisis ekonomi. Rakyat mendesak pemerintah membuat kebijakan darurat, seperti subsidi gaji atau insentif pajak bagi perusahaan, agar buruh kontrak tidak menjadi korban pertama.
17. Buka Dialog dengan Serikat Buruh
Terakhir, rakyat meminta pemerintah membuka ruang negosiasi resmi dengan serikat buruh. Topik utama adalah solusi soal upah minimum, outsourcing, dan perlindungan buruh kontrak. Dialog ini dipandang penting agar keputusan soal ketenagakerjaan tidak lagi bersifat sepihak.
Isi 8 Tuntutan Jangka Panjang
Selain desakan segera, rakyat juga menuntut adanya reformasi menyeluruh yang ditargetkan tercapai paling lambat 31 Agustus 2026. Delapan tuntutan jangka panjang ini berfokus pada pembenahan struktur kelembagaan negara, hukum, dan kebijakan ekonomi.
1. Bersihkan DPR lewat Reformasi Besar-besaran
Dilakukan audit independen yang hasilnya diumumkan ke publik. Standar prasyarat anggota DPR harus diperketat, termasuk menolak mantan koruptor. DPR juga perlu memiliki indikator kinerja (KPI) yang jelas untuk evaluasi. Perlakuan istimewa seperti pensiun seumur hidup, transportasi eksklusif, dan pajak ditanggung APBN harus dihapuskan.
2. Reformasi Partai Politik dan Perkuat Pengawasan Eksekutif
Partai politik diwajibkan mempublikasikan laporan keuangan pertamanya pada tahun ini. Selain itu, DPR harus memastikan fungsi oposisi berjalan efektif sebagai penyeimbang kekuasaan.
3. Susun Rencana Reformasi Perpajakan yang Lebih Adil
Kebijakan transfer APBN dari pusat ke daerah perlu ditinjau ulang agar lebih seimbang. Rencana kenaikan pajak yang membebani rakyat harus dibatalkan, lalu digantikan dengan reformasi perpajakan yang lebih adil dan proporsional.
4. Sahkan dan Tegakkan UU Perampasan Aset Koruptor
DPR harus segera mengesahkan RUU Perampasan Aset pada masa sidang tahun ini. Hal ini akan menjadi bukti nyata komitmen memberantas korupsi, sejalan dengan penguatan independensi KPK dan penegakan UU Tipikor.
5. Reformasi Kepolisian agar Profesional dan Humanis
DPR didesak merevisi UU Kepolisian dengan fokus pada desentralisasi fungsi kepolisian, khususnya dalam urusan ketertiban umum, keamanan, dan lalu lintas. Target awalnya adalah pelaksanaan dalam 12 bulan ke depan.
6. TNI Kembali ke Barak Tanpa Pengecualian
Pemerintah diminta segera mencabut mandat TNI dari proyek-proyek sipil, termasuk proyek food estate berskala besar. DPR juga harus mulai membahas revisi UU TNI untuk mempertegas batasan peran militer.
7. Perkuat Komnas HAM dan Lembaga Pengawas Independen
DPR perlu merevisi UU Komnas HAM agar lembaga ini memiliki kewenangan lebih luas, terutama dalam isu kebebasan berekspresi. Presiden juga didesak memperkuat Ombudsman dan Kompolnas agar pengawasan berjalan lebih efektif.
8. Tinjau Ulang Kebijakan Ekonomi dan Ketenagakerjaan
Kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan prioritas ekonomi harus dievaluasi agar tidak merugikan masyarakat adat maupun lingkungan. Selain itu, UU Ciptakerja perlu ditinjau ulang karena dinilai memberatkan buruh. Audit tata kelola BUMN dan proyek besar seperti Danantara juga menjadi bagian dari agenda reformasi ini.
Peran Media Sosial dalam Menggencarkan Tuntutan
Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat memperlihatkan bagaimana media sosial kini menjadi arena politik baru. Dari Twitter, Instagram, hingga TikTok, ribuan unggahan mengenai tuntutan ini muncul setiap hari. Figur publik seperti Jerome Polin, Ryan Adriandhy, hingga Salsa Erwina turut menyuarakan aspirasi ini sehingga gaungnya semakin meluas.
Fenomena ini menunjukkan bahwa aksi massa tidak lagi hanya berlangsung di jalanan. Narasi perlawanan kini hidup di dunia maya, menciptakan tekanan publik yang lebih besar kepada pemerintah. Bahkan, beberapa tokoh politik terpaksa memberi komentar resmi setelah melihat derasnya arus dukungan terhadap gerakan ini di media sosial.
Perspektif Jurnalis Radar Tulungagung
Sebagai jurnalis, saya menilai 17+8 Tuntutan Rakyat adalah bentuk artikulasi yang sangat jelas dari keresahan publik. Tidak seperti gerakan sebelumnya yang sering kali hanya menuntut secara umum, kali ini rakyat menyusun daftar konkrit dengan batas waktu yang terukur.
“Menurut saya, 17+8 Tuntutan Rakyat adalah momentum langka ketika suara rakyat berhasil terkoordinasi dengan baik. Ini bukan sekadar luapan emosi, tetapi peta jalan untuk mengembalikan arah demokrasi kita agar lebih sehat.”
Dengan tuntutan yang jelas, publik kini memiliki pijakan kuat untuk terus mengawasi kinerja pemerintah, DPR, dan aparat penegak hukum. Tekanan sosial semacam ini, jika konsisten, berpotensi membawa perubahan nyata.