Table of Contents
Setiap tahun, umat Muslim di seluruh dunia merayakan Idul Adha dengan penuh semangat dan pengorbanan. Salah satu amalan utama dalam perayaan ini adalah menyembelih hewan kurban sebagai bentuk taqarrub kepada Allah SWT. Namun, di tengah kemeriahan dan ibadah tersebut, muncul pertanyaan penting yang sering menjadi perbincangan: Apakah daging kurban boleh diperjualbelikan? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat secara mendalam dari sisi hukum Islam, dalil-dalil syar’i, hingga praktik para ulama.
Idul Adha 2025, yang jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025 (10 Dzulhijjah 1446 H), merupakan momen penting bagi umat Islam di seluruh dunia. Perayaan ini tidak hanya menandai ibadah kurban, tetapi juga menjadi refleksi mendalam tentang ketaatan, keikhlasan, dan kepedulian sosial.
Makna Spiritual: Meneladani Ketaatan Nabi Ibrahim AS
Idul Adha memperingati kisah Nabi Ibrahim AS yang bersedia mengorbankan putranya, Ismail AS, atas perintah Allah SWT. Namun, pengorbanan itu diganti oleh Allah dengan seekor domba. Cerita ini menjadi simbol bahwa pengabdian total kepada Tuhan adalah bentuk ibadah tertinggi, dan pengorbanan untuk sesama adalah manifestasi nyata dari iman.
Ibadah kurban juga mengajarkan pentingnya berbagi dengan sesama. Daging hewan kurban dibagikan kepada keluarga, tetangga, dan mereka yang membutuhkan, mencerminkan semangat solidaritas dan kepedulian sosial. Hal ini memperkuat ikatan antaranggota masyarakat dan menumbuhkan rasa empati.
Dalam konteks kehidupan modern, Idul Adha mengingatkan kita untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti keikhlasan, pengorbanan, dan kepedulian terhadap sesama. Perayaan ini menjadi momentum untuk merenung dan memperbaiki diri, serta mempererat hubungan sosial di tengah dinamika kehidupan yang kompleks.
Makna dan Tujuan Ibadah Kurban
Ibadah kurban bukan hanya ritual penyembelihan hewan semata, melainkan mengandung makna spiritual dan sosial yang sangat dalam. Kurban merupakan bentuk ketundukan kepada perintah Allah SWT yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Kurban sebagai Simbol Ketakwaan
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan bahwa bukan daging atau darah hewan kurban yang sampai kepada-Nya, melainkan ketakwaan dari orang yang melaksanakannya. Hal ini disebutkan dalam Surah Al-Hajj ayat 37:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37)
Kurban Sebagai Sarana Berbagi
Selain sebagai ibadah vertikal, kurban juga memiliki nilai horizontal dalam kehidupan sosial. Hewan kurban dibagikan kepada kaum dhuafa, tetangga, dan kerabat sebagai bentuk solidaritas dan kepedulian.
Hukum Asal Daging Kurban
Sebelum membahas apakah daging kurban boleh diperjualbelikan, kita harus mengetahui terlebih dahulu hukum asal dari daging kurban itu sendiri.
Daging Kurban Bukan Milik Penuh Pekurban
Dalam fiqih Islam, hewan kurban yang disembelih karena ibadah tidak sepenuhnya menjadi hak milik pekurban. Ada ketentuan khusus tentang pembagian dan pemanfaatannya. Para ulama membagi hukum kurban menjadi dua:
- Kurban Sunnah – Seperti kurban Idul Adha yang dilakukan oleh umat Muslim yang mampu.
- Kurban Wajib (Nadzar) – Bila seseorang bernazar untuk berkurban, maka menjadi wajib baginya.
Dalam kedua jenis ini, distribusi dan pemanfaatan daging kurban harus sesuai dengan syariat.

Pendapat Ulama Tentang Jual Beli Daging Kurban
Dalam literatur fiqih Islam, mayoritas ulama bersepakat bahwa daging kurban tidak boleh diperjualbelikan, baik oleh pekurban maupun orang yang menerima kurban.
Pendapat Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) menyatakan bahwa menjual daging kurban hukumnya haram. Ini didasarkan pada hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim:
“Barangsiapa menyembelih (hewan kurban), maka janganlah memberikan sesuatu pun darinya kepada penyembelih sebagai upah. Kami akan memberikan upahnya dari uang kami sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi dasar kuat bahwa bagian dari hewan kurban, termasuk daging, kulit, atau bagian lainnya, tidak boleh menjadi alat tukar atau diperjualbelikan.
Hikmah Pelarangan Jual Beli
Larangan ini dimaksudkan agar ibadah kurban tetap murni karena Allah SWT, bukan menjadi sarana bisnis. Jika daging kurban boleh dijual, maka akan membuka celah eksploitasi dan mengurangi nilai ibadahnya.
Apakah Penerima Kurban Boleh Menjual Dagingnya?
Pertanyaan lanjutan yang sering muncul adalah apakah orang yang menerima daging kurban boleh menjual kembali daging tersebut?
Penerima Kurban Mendapat Hak Kepemilikan
Setelah daging kurban diberikan kepada mustahik (penerima yang berhak), maka ia menjadi milik mereka secara penuh. Dalam konteks ini, para ulama memperbolehkan mustahik menjual daging kurban yang telah menjadi miliknya apabila ada kebutuhan mendesak.
Namun demikian, hal ini bukan berarti dianjurkan, karena semangat kurban adalah untuk dikonsumsi, bukan diperjualbelikan kembali.
Penekanan pada Adab Sosial
Jika seorang mustahik langsung menjual daging kurban yang baru ia terima, hal itu dapat dianggap sebagai tidak menghargai pemberian dan semangat ibadah. Oleh karena itu, meskipun secara hukum diperbolehkan, sebaiknya dihindari kecuali sangat terpaksa.
Bagaimana dengan Kulit, Tanduk, dan Bagian Lain?
Tak hanya daging, bagian tubuh lain dari hewan kurban seperti kulit, tanduk, dan tulang juga tidak boleh diperjualbelikan oleh pekurban.
Dilarang Memberi Upah dari Bagian Kurban
Sebagaimana disebut dalam hadis sebelumnya, Rasulullah SAW melarang menjadikan bagian dari hewan kurban sebagai upah kepada penyembelih.
Namun, kulit hewan kurban boleh dimanfaatkan, misalnya dijadikan alas, tas, atau benda lainnya, selama tidak diperjualbelikan oleh pihak pekurban. Kalau hendak menjualnya, hasil penjualan harus disedekahkan.
Bolehkah Diberikan ke Lembaga Sosial?
Beberapa orang menyerahkan kulit atau bagian tubuh kurban ke yayasan masjid atau panti asuhan. Ini diperbolehkan, asalkan lembaga tersebut tidak menjualnya untuk keuntungan pribadi, melainkan seluruh hasilnya digunakan untuk keperluan sosial atau keagamaan.

Praktik yang Sering Terjadi di Lapangan
Dalam praktiknya, pelaksanaan kurban sering kali melibatkan panitia yang tidak memahami betul ketentuan ini. Tidak jarang bagian-bagian kurban dijual untuk menutupi biaya operasional.
Menjual untuk Operasional: Bolehkah?
Pendapat mayoritas ulama melarang keras menjual daging atau bagian tubuh kurban untuk menutupi biaya operasional, karena hal itu mengubah niat ibadah menjadi komersial.
Namun sebagian ulama kontemporer memperbolehkan penjualan kulit kurban selama hasilnya tidak digunakan untuk pribadi, tapi untuk kepentingan umat seperti membiayai kegiatan dakwah, masjid, atau fakir miskin.
Solusi: Dana Operasional dari Donatur Khusus
Solusi terbaik yang disarankan para ulama adalah menyiapkan dana operasional tersendiri dari para donatur. Dengan demikian, panitia tidak perlu menjual bagian apapun dari hewan kurban.
Sanksi Jika Melanggar Ketentuan Kurban
Bagaimana jika seseorang tetap nekat menjual daging kurban miliknya? Apa konsekuensi hukumnya?
Kurban Tidak Sah atau Berkurang Pahalanya
Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi pelanggaran ini. Dalam kasus kurban wajib (nadzar), pelanggaran seperti menjual bagian hewan bisa menyebabkan ibadahnya tidak sah. Sedangkan pada kurban sunnah, ibadahnya tetap sah, tetapi pahala bisa berkurang drastis atau bahkan hilang.
Konsekuensi Moral dan Sosial
Selain dampak spiritual, tindakan menjual daging kurban juga bisa berdampak sosial, karena menodai nilai luhur dari ibadah yang bertujuan menyatukan umat dalam semangat berbagi.
Penjelasan MUI dan Fatwa Ulama Indonesia
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memberikan panduan tegas terkait hal ini.
Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009
Dalam fatwa MUI tentang penyembelihan hewan kurban, dinyatakan:
“Daging, kulit, dan bagian tubuh hewan kurban tidak boleh dijual, termasuk diberikan sebagai upah kepada jagal/penyembelih.”
Fatwa ini mempertegas bahwa menjual daging kurban hukumnya haram, dan seluruh bagian hewan harus disalurkan secara syar’i.
Sikap NU dan Muhammadiyah
Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, juga sepakat melarang penjualan bagian dari hewan kurban. Keduanya menekankan pentingnya menjaga kemurnian niat berkurban dan tidak mengotori ibadah dengan praktik komersial.
Jagalah Kemurnian Ibadah Kurban
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa daging kurban tidak boleh diperjualbelikan oleh pekurban, baik sebagian maupun seluruhnya. Ketentuan ini ditegaskan oleh dalil hadis, pendapat mayoritas ulama, dan fatwa lembaga otoritatif seperti MUI.
Untuk penerima kurban, meskipun secara teknis boleh menjual daging tersebut, sebaiknya tidak dilakukan demi menjaga adab dan menghormati makna ibadah. Solusi terbaik bagi panitia adalah menyiapkan dana operasional dari donatur, bukan dari penjualan bagian kurban.
Ibadah kurban bukan hanya tentang menyembelih, tetapi juga bagaimana kita menjaga niat, tata cara, dan nilai-nilainya agar tetap murni karena Allah semata. Dengan begitu, kurban kita bukan hanya diterima secara lahir, tapi juga batin.