Table of Contents
Penerimaan pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik. Namun, kinerja penerimaan pajak di Indonesia mendapat sorotan tajam dari Bank Dunia. Lembaga internasional tersebut mengkritik bahwa Indonesia memiliki kinerja pengumpulan pajak yang buruk, bahkan disamakan dengan Nigeria. Kritik ini menyoroti berbagai permasalahan dalam sistem perpajakan Indonesia yang perlu segera dibenahi.
Kritik Bank Dunia terhadap Penerimaan Pajak Indonesia

Penilaian Bank Dunia
Dalam sebuah presentasi kepada pemerintah Indonesia, Bank Dunia mengungkapkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan kinerja pengumpulan pajak yang kurang baik. Bahkan, Indonesia disamakan dengan Nigeria dalam hal efisiensi pengumpulan pajak. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, yang merasa tersinggung dengan penilaian tersebut. Luhut menyatakan bahwa Bank Dunia mengkritik Indonesia sebagai salah satu negara yang pengumpulan pajaknya tidak baik dan disamakan dengan Nigeria.
Rasio Pajak yang Rendah
Salah satu indikator utama yang menjadi sorotan adalah rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Data menunjukkan bahwa rasio pajak Indonesia masih berada di bawah standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Menurut Bank Dunia, menjaga pendapatan pajak di atas 15% dari PDB suatu negara sangat penting untuk memastikan keberlanjutan fiskal. Namun, rasio pajak Indonesia dilaporkan hanya mencapai 11,6% pada tahun 2022. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam hal efisiensi pengumpulan pajak dibandingkan dengan negara-negara lain.
Faktor Penyebab Rendahnya Penerimaan Pajak
Kepatuhan Pajak yang Rendah
Salah satu faktor utama rendahnya penerimaan pajak di Indonesia adalah tingkat kepatuhan pajak yang masih rendah. Bank Dunia dalam laporannya menyatakan bahwa satu dari empat perusahaan di Indonesia terlibat dalam penghindaran pajak. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak wajib pajak, baik individu maupun korporasi, yang belum memenuhi kewajiban perpajakannya secara penuh.
Basis Pajak yang Sempit
Basis pajak yang sempit juga menjadi permasalahan dalam sistem perpajakan Indonesia. Banyak sektor ekonomi yang belum terjangkau oleh sistem perpajakan, sehingga potensi penerimaan pajak tidak dapat dimaksimalkan. Selain itu, tingginya sektor informal dalam perekonomian Indonesia membuat banyak transaksi ekonomi tidak tercatat dan tidak dikenakan pajak.
Administrasi Pajak yang Kurang Efisien
Efisiensi administrasi perpajakan juga menjadi sorotan. Proses administrasi yang kompleks dan kurang transparan dapat menghambat wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya. Selain itu, kurangnya pemanfaatan teknologi dalam administrasi perpajakan menyebabkan proses pengumpulan pajak menjadi kurang efektif.
Dampak dari Rendahnya Penerimaan Pajak

Keterbatasan Anggaran Pembangunan
Rendahnya penerimaan pajak berdampak langsung pada keterbatasan anggaran pemerintah untuk membiayai program pembangunan. Dengan pendapatan pajak yang minim, pemerintah menghadapi tantangan dalam menyediakan layanan publik yang berkualitas dan membiayai proyek infrastruktur yang vital bagi pertumbuhan ekonomi.
Ketergantungan pada Utang
Untuk menutupi defisit anggaran akibat rendahnya penerimaan pajak, pemerintah seringkali mengandalkan utang. Ketergantungan pada utang dalam jangka panjang dapat membebani keuangan negara dan meningkatkan risiko fiskal. Oleh karena itu, meningkatkan penerimaan pajak menjadi krusial untuk mengurangi ketergantungan pada pembiayaan utang.
Upaya Perbaikan dan Reformasi Perpajakan

Implementasi Program Coretax
Menanggapi kritik dari Bank Dunia, pemerintah Indonesia berupaya melakukan reformasi dalam sistem perpajakan. Salah satu inisiatif yang diambil adalah implementasi program Coretax oleh Kementerian Keuangan. Program ini bertujuan untuk memodernisasi sistem administrasi perpajakan melalui pemanfaatan teknologi informasi, sehingga proses pengumpulan pajak menjadi lebih efisien dan transparan. Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa implementasi program Coretax berpotensi meningkatkan penerimaan pajak Indonesia hingga 6,4% dari PDB, setara dengan sekitar Rp1.500 triliun.
Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
Pemerintah juga berupaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui berbagai cara, seperti sosialisasi pentingnya membayar pajak, pemberian insentif bagi wajib pajak yang patuh, serta penegakan hukum yang tegas bagi pelanggar. Dengan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak, diharapkan penerimaan pajak dapat meningkat secara signifikan.
Perluasan Basis Pajak
Perluasan basis pajak dilakukan dengan menjangkau sektor-sektor ekonomi yang selama ini belum tercover dalam sistem perpajakan. Upaya ini mencakup formalisasi sektor informal, pengenalan pajak baru yang relevan dengan perkembangan ekonomi, serta penyesuaian regulasi perpajakan agar lebih inklusif.
Penyederhanaan Administrasi Pajak
Menyederhanakan proses administrasi perpajakan menjadi langkah penting dalam meningkatkan efisiensi pengumpulan pajak. Penggunaan teknologi informasi dalam administrasi perpajakan, seperti e-filing dan e-billing, dapat mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya dan mengurangi potensi kesalahan dalam pelaporan.
Solusi Nyata untuk Meningkatkan Penerimaan Pajak Indonesia
Kritik Bank Dunia terhadap kinerja penerimaan pajak Indonesia menjadi pengingat penting bagi pemerintah untuk segera melakukan pembenahan dalam sistem perpajakan. Rendahnya rasio pajak terhadap PDB, rendahnya kepatuhan wajib pajak, basis pajak yang sempit, serta administrasi yang kurang efisien menjadi tantangan yang harus diatasi. Melalui implementasi program Coretax, peningkatan kepatuhan wajib pajak, perluasan basis pajak, dan penyederhanaan administrasi, diharapkan penerimaan pajak Indonesia dapat meningkat secara signifikan. Peningkatan ini akan memberikan ruang fiskal yang lebih besar bagi pemerintah untuk membiayai pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.