Table of Contents
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengambil langkah tegas dalam memberantas tindak pidana korupsi di sektor pemerintahan daerah. Kali ini, sorotan publik mengarah ke Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, setelah KPK melakukan pemanggilan terhadap lima anggota DPRD OKU. Pemanggilan ini merupakan tindak lanjut dari operasi tangkap tangan (OTT) yang sebelumnya dilakukan KPK pada Maret 2025 terkait proyek pengadaan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) OKU.
Asal Usul Investigasi
Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK kala itu berawal dari laporan masyarakat yang mencurigai adanya aliran dana tidak wajar dalam proses persetujuan dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur di lingkungan Dinas PUPR. Tim KPK kemudian melakukan pemantauan selama dua bulan hingga akhirnya dilakukan penangkapan langsung terhadap sejumlah pejabat daerah dan anggota dewan yang diduga terlibat.
Pemeriksaan Lima Anggota DPRD OKU
Nama-nama yang Dipanggil
Pada Rabu, 28 Mei 2025, lima orang anggota DPRD OKU periode 2024–2029 dipanggil oleh KPK sebagai saksi dalam penyidikan kasus korupsi proyek Dinas PUPR. Mereka yang dipanggil adalah Hendro Saputra Jaya, Suharman, Yoelandre Pratama Putra, Sapriyanto, dan Martin Arikadi. Kelima orang tersebut diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Fokus Pemeriksaan
Dalam pemeriksaan tersebut, penyidik KPK mendalami hubungan kelima anggota dewan tersebut dengan para tersangka yang sebelumnya ditangkap, serta apakah mereka memiliki peran aktif dalam penyusunan atau pengesahan anggaran proyek bermasalah. Pemeriksaan juga melibatkan penelusuran aliran dana dan komunikasi digital yang mengindikasikan adanya koordinasi jatah proyek.

Modus Operandi Korupsi Proyek
Permintaan Jatah Proyek
Modus korupsi yang terungkap dalam penyidikan KPK melibatkan permintaan jatah proyek oleh sejumlah anggota DPRD kepada Kepala Dinas PUPR OKU, Nopriansyah. Dalam pengaturan tersebut, anggota DPRD diduga meminta komitmen fee proyek senilai Rp7 miliar dari total nilai proyek Rp35 miliar yang bersumber dari APBD OKU 2025.
Persetujuan Anggaran sebagai Imbalan
Sebagai imbalan, para legislator ini memberikan persetujuan terhadap peningkatan anggaran Dinas PUPR dari Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar. Praktik ini mengindikasikan adanya pertukaran kebijakan untuk keuntungan pribadi yang merugikan anggaran negara.
Konsekuensi pada Proyek Infrastruktur
Penerapan praktik suap ini menyebabkan terjadinya pemotongan anggaran proyek yang berujung pada rendahnya kualitas pembangunan infrastruktur, termasuk jalan, jembatan, dan irigasi. Beberapa proyek bahkan terhenti di tengah jalan karena ketiadaan dana yang telah dikorupsi di awal proses.
Penetapan dan Profil Tersangka
Tersangka dari Berbagai Unsur
Dari hasil OTT dan pemeriksaan lanjutan, KPK menetapkan enam orang tersangka yang terdiri dari unsur legislatif, eksekutif, serta pihak swasta. Keenam tersangka tersebut adalah:
- Ferlan Juliansyah, anggota Komisi III DPRD OKU
- M. Fahrudin, Ketua Komisi III DPRD OKU
- Umi Hartati, Ketua Komisi II DPRD OKU
- Nopriansyah, Kepala Dinas PUPR OKU
- M. Fauzi alias Pablo, pihak swasta
- Ahmad Sugeng Santoso, pihak swasta
Bagi-bagi Komisi Proyek
Keenam tersangka tersebut diduga telah menerima dan membagi-bagikan komisi hasil proyek kepada sejumlah pihak termasuk beberapa anggota DPRD OKU lainnya, menciptakan skema korupsi berjamaah yang mengakar.

Proses Hukum dan Persidangan
Pelimpahan ke Pengadilan Tipikor
Setelah tahap penyidikan, KPK melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Palembang. Para terdakwa juga telah dipindahkan ke Rumah Tahanan Negara Kelas I Palembang sebagai tahanan titipan KPK.
Jadwal Sidang dan Dakwaan
Proses sidang perdana dijadwalkan pada awal Juni 2025 dengan dakwaan utama terkait penerimaan suap dan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan anggaran proyek. Jaksa penuntut umum menyebutkan akan menghadirkan sekitar 20 saksi selama persidangan, termasuk auditor dan rekanan kontraktor proyek.
Antisipasi Intervensi Politik
KPK juga telah meminta perlindungan dari Mahkamah Agung untuk menjamin proses persidangan berlangsung independen dan tidak diintervensi oleh kekuatan politik lokal yang masih memiliki jaringan dengan tersangka.
Dampak terhadap Pemerintahan dan Masyarakat
Krisis Kepercayaan Publik
Skandal ini memberi dampak besar terhadap kredibilitas DPRD OKU serta kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan anggaran publik. Proyek-proyek infrastruktur yang seharusnya menjadi penunjang kesejahteraan rakyat kini tersendat dan memicu kerugian negara.
Evaluasi Kinerja dan Reformasi Sistem
Selain itu, kasus ini juga menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penganggaran dan pelaksanaan proyek di daerah. Penguatan sistem pengawasan internal menjadi langkah penting dalam mencegah pengulangan kasus serupa.

Respons KPK dan Harapan Publik
Sikap Tegas KPK
Juru bicara KPK, Ali Fikri, menyampaikan bahwa lembaga antirasuah akan terus memproses kasus ini secara profesional dan terbuka. Ia menegaskan bahwa KPK tidak akan ragu memanggil siapa pun yang diduga terlibat tanpa pandang bulu.
Harapan Masyarakat
Publik berharap agar persidangan berjalan objektif dan memberikan efek jera terhadap praktik korupsi berjamaah yang mencederai kepentingan masyarakat. KPK juga diharapkan memperluas penyelidikan guna mengungkap jaringan korupsi yang lebih luas dalam lingkup proyek pembangunan daerah.
Menyisir Akar Korupsi: Momentum Perbaikan Tata Kelola Daerah
Pemanggilan lima anggota DPRD OKU oleh KPK menjadi titik penting dalam penanganan kasus korupsi proyek Dinas PUPR. Dengan keterlibatan unsur legislatif dan eksekutif, kasus ini mencerminkan masih rapuhnya integritas pengelolaan keuangan daerah. Melalui tindakan tegas, KPK diharapkan dapat memulihkan kepercayaan publik dan menjadi pemantik reformasi dalam sistem politik dan birokrasi di tingkat lokal.
Lebih dari sekadar penegakan hukum, kasus ini juga menjadi refleksi terhadap urgensi pembenahan sistem pengadaan proyek di daerah, transparansi anggaran, dan pemberdayaan peran serta masyarakat sipil sebagai pengawas independen demi menghindari skandal serupa di masa depan.