TULUNGAGUNG – Semakin berkembangnya teknologi, kini kasus kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi melalui media sosial (medsos). Meski bukan kasus pertama yang ditemukan, tapi kasus kekerasan berbasis online semakin marak terjadi seiring berjalannya waktu.
Kasi Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KB PP dan PA) Tulungagung, Winarno mengatakan, akhir-akhir ini terdapat pelaporan adanya kekerasan terhadap perempuan berbasis online. Kronologi kejadian tersebut bermula saat korban menawarkan diri untuk membuka layanan video call sex (VCS). Tak lama kemudian, tawaran layanan tersebut dibatalkan oleh yang bersangkutan. “Akan tetapi, korban ini sempat mengirim gambar tanpa busana kepada lelaki yang ia kenal lewat medsos,” jelasnya kemarin (8/7).
Lanjut dia, setelah korban mengirim gambar tersebut kepada laki-laki yang dikenal melalui media sosial (medsos), kemudian gambar tersebut menjadi alat bagi laki-laki untuk memeras korban. Pemerasan tersebut disertai ancaman berupa permintaan uang Rp 10 juta. “Ancamannya, kalau kamu mau mengirim saya Rp 10 juta, maka gambar ini tidak saya sebarkan. Dan sebaliknya, jika kamu tidak memenuhi, maka gambar ini akan saya sebarkan,” ucapnya.
Ancaman tersebut membuat korban terancam dan mengadu atas kejadian yang dialaminya. Kemudian, pihaknya menghubungi korban untuk mediasi dan pendalaman kasus. “Saya hubungi, maunya itu seperti apa. Apakah kami harus datang ke tempatnya atau dia datang ke kantor, atau di tempat lain. Namun ternyata, korban ini masih berpikir untuk mengambil tindak lanjut yang telah kami tawarkan,” paparnya.
Dia mengaku, jika korban berkenan untuk menerima layanan, maka pihaknya akan menentukan langkah ke depannya. Pihaknya tetap menghargai privasi dari klien sehingga kini masih menunggu persetujuan dari klien tersebut. “Jadi kalau korban berkenan untuk bertemu, ya kita akan bertemu. Kalau dia tidak berkenan untuk bertemu, maka saya juga tidak akan memaksa,” ucapnya.
Dia menyampaikan, nilai tawar yang telah diajukan kepada korban kekerasan berbasis online tersebut, yakni dengan tidak melanjutkan kasus korban dapat menjadi lebih baik atau lain sebagainya. Tawaran tersebut akan menjadi keputusan matang dari korban. “Kalau korban masih merasa belum nyaman untuk melanjutkan kasus ini, ya monggo. Ya barangkali apa yang bisa kita bantu, ya akan kita bantu,” ungkapnya.
Lanjut dia, selama minggu awal Juli berjalan, terdapat dua kasus kekerasan berbasis online. Kasus kekerasan berbasis online tersebut memiliki kronologi yang hampir sama. “Kurang lebih sama, jadi ya diperas. Dengan begitu, dia diancam, termasuk diteror di tempat kerja dan lain sebagainya. Hampir pasti hal-hal seperti itu berujung pada pemerasan,” tutupnya.