Table of Contents
Jakarta, 2025 – Di sebuah kedai kopi yang penuh dengan bunyi dentingan gelas dan gumaman obrolan sore, seorang perempuan duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya. Tak banyak bicara, tak mencuri perhatian. Namun, ketika seorang pengunjung tak sengaja menjatuhkan sendok, dia dengan tenang berkata, “Tak apa, saya bantu ambilkan.” Ucapannya pelan, hampir tak terdengar – tapi justru itu yang membuat semua orang berpaling dengan gaya berbicara soft spoken.
Soft Spoken: Bukan Hanya Cara Bicara, Tapi Gaya Hidup
Banyak orang keliru mengira bahwa soft spoken sekadar berarti suara pelan. Padahal, menurut pengamat komunikasi interpersonal, Dr. Aditya Rahmat dari Universitas Indonesia, soft spoken adalah “sebuah pola komunikasi yang tidak hanya lemah lembut dalam volume suara, tetapi juga dalam pilihan kata, nada, hingga ekspresi emosi.”
Karakter ini kerap dikaitkan dengan kepribadian introvert, namun tak selamanya demikian. Ada banyak tokoh publik dengan karakter soft spoken yang justru menjadi pemimpin, pendakwah, motivator, bahkan pembicara TED Talk.
“Soft spoken bukan berarti lemah. Justru, seringkali mereka yang soft spoken mampu memengaruhi orang lebih dalam karena pendekatan mereka menyentuh emosi tanpa agresi,” lanjut Dr. Aditya.
Kenapa Tiba-Tiba Viral? Soft Spoken dan Algoritma Dunia Maya
Kita hidup di era suara keras, di mana influencer berebut perhatian dengan teriakan, clickbait, dan reaksi berlebihan. Tapi justru di tengah hiruk pikuk itu, muncul gelombang konten yang tenang, nyaman, dan menyamankan – soft spoken influencers.
Ambil contoh akun TikTok @soothingvibes.id yang dalam sebulan terakhir mencatat 2,3 juta penayangan hanya dari video “membacakan puisi sambil membuat teh.” Atau YouTube channel Suaraku Tenang yang menyuguhkan ASMR dengan suara lirih penuh kasih, banyak di antaranya digunakan penonton untuk menenangkan diri dari kecemasan.
Psikolog klinis Febriana Larasati, yang juga aktif mengamati tren ini, mengatakan bahwa soft spoken content menjadi pelarian dari kelelahan mental akibat konten agresif dan over-stimulating di media sosial.
“Banyak orang capek dengan dunia yang terlalu cepat dan keras. Maka, suara lembut bukan hanya disukai, tapi dibutuhkan.”
Dari Budaya Timur Hingga Strategi Diplomasi: Soft Spoken Mendunia
Tradisi komunikasi lembut sebenarnya bukan barang baru. Dalam banyak budaya Asia, termasuk Jepang, Korea, dan Jawa, kelembutan dalam berbicara mencerminkan penghormatan dan kebijaksanaan. Bahkan, dalam diplomasi internasional, pendekatan soft spoken sering kali lebih efektif daripada retorika keras.
Kita bisa melihatnya pada Jacinda Ardern, mantan Perdana Menteri Selandia Baru, yang sering dipuji karena gaya bicaranya yang tenang dan empatik. Dia menunjukkan bahwa soft spoken dapat berjalan seiring dengan kepemimpinan yang kuat.

Cowok Soft Spoken : Laki-Laki dengan Suara Pelan
Di tengah gempuran citra macho dan gaya bicara meledak-ledak yang kerap diasosiasikan dengan maskulinitas, kini muncul antitesis yang tak terduga: cowok soft spoken. Mereka berbicara tenang, memilih kata hati-hati, dan nyaris tidak pernah membentak. Tapi justru karena itu, mereka jadi rebutan—bukan hanya di sosial media, tapi juga di dunia nyata.
Nama seperti Rio Ardhitya, content creator asal Malang, kini viral karena gaya kontennya yang nyaris berbisik saat membacakan pesan motivasi harian. “Gue cuma pengen orang tenang pas buka video gue,” katanya dalam salah satu podcast. Meski kalem, video Rio ditonton lebih dari 5 juta kali di TikTok, dan ratusan komentar menyebutnya sebagai “pria idaman karena tutur katanya”.
Laki-Laki Lembut = Lemah? Sudah Nggak Berlaku!
Selama puluhan tahun, citra pria tangguh adalah pria yang keras dan tegas. Tapi kini, cowok yang lembut malah dianggap lebih gentleman. Mereka sabar mendengar, tidak membentak saat emosi, dan mampu menunjukkan empati tanpa kehilangan jati diri. Mereka bukan lemah—mereka dewasa.
Menurut psikolog sosial Raden Bagas Wiratama, perubahan persepsi ini terjadi karena banyak perempuan (dan sesama pria) mulai menyadari bahwa kekuatan tidak harus tampil dalam suara keras. “Cowok yang soft spoken menunjukkan mereka bisa kontrol emosi, bisa berpikir sebelum bicara. Itu mahal di era sekarang,” ujarnya.
Romantis Tanpa Drama, Komunikatif Tanpa Toxic
Cowok soft spoken biasanya dikenal punya cara komunikasi yang tidak meledak-ledak dalam hubungan. Mereka cenderung menyampaikan pendapat dengan tenang, tidak defensif, dan menghindari konflik dengan kepala dingin.
“Pacaran sama cowok kayak gitu tuh kayak punya space buat nafas,” cerita @kelinstrong, salah satu pengguna Twitter yang viral karena thread-nya tentang mantan pacar soft spoken. “Dia marah pun suaranya nggak naik, tapi tetap tegas. Aku malah makin merasa dihargai.”
Dari Drama Korea Sampai Kehidupan Nyata
Tren cowok soft spoken juga terbantu oleh budaya pop. Tokoh-tokoh pria di drama Korea seperti Lee Jong-suk di “While You Were Sleeping” atau Park Bo-gum di “Record of Youth” memperlihatkan sisi maskulin tanpa harus berteriak. Mereka tenang, tapi penuh pendirian.
Di Indonesia, hal ini mulai menjadi standar baru dalam hubungan: bukan soal seberapa keras kamu berbicara, tapi seberapa baik kamu membuat pasangan merasa aman.
Kita Butuh Lebih Banyak Orang Soft Spoken
Fenomena soft spoken bukan sekadar tren internet atau gaya bicara seleb TikTok. Ia adalah refleksi dari kebutuhan zaman: dunia yang bising butuh suara yang tenang. Dalam dunia penuh suara, mereka yang soft spoken justru mampu menggema paling dalam.
Jadi lain kali saat kamu berbicara, cobalah untuk tidak menguasai ruang dengan nada tinggi. Kadang, suara paling kecil adalah yang paling didengar.
“Tenang bukan berarti kalah. Lembut bukan berarti lemah. Mereka yang memilih kata dengan hati-hati, sesungguhnya telah memenangkan percakapan bahkan sebelum suara mereka selesai terdengar.”