Table of Contents
Bayangkan sebungkus kecil beras ketan yang dibungkus daun bambu, diikat kuat dengan tali rami, lalu dikukus hingga aromanya membubung di udara, bukan sekadar makanan, tetapi warisan ribuan tahun dari budaya Timur. Ia disebut bakcang, atau dalam nama aslinya, zongzi. Hari ketika ia paling ramai dibicarakan? Bukan saat festival kuliner, tapi saat Hari Raya Duanwu, yang oleh orang awam dikenal sebagai Festival Perahu Naga.
Aroma yang Membawa Cerita Ribuan Tahun
Bakcang bukan sekadar kudapan untuk mengisi perut kosong. Di balik tekstur lengketnya, terselip kisah seorang penyair, negarawan, sekaligus martir: Qu Yuan. Pada sekitar 278 SM, Qu Yuan hidup di masa Dinasti Chu. Ia dikenal jujur, patriotik, dan berani bersuara di tengah politik kerajaan yang bobrok. Tapi justru karena itulah, ia dijauhi, dibuang, dan akhirnya memilih mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke Sungai Miluo.
Rakyat yang mencintainya tidak tinggal diam. Mereka mengarungi sungai dengan perahu, memukul genderang, melempar bola nasi ke sungai agar ikan tidak memakan jasad Qu Yuan. Dari sinilah, tradisi bakcang—yang semula adalah bola nasi sederhana—berkembang menjadi simbol penghormatan.
Dari Sungai Miluo ke Kompor Ibu-Ibu Asia Tenggara
Setiap tanggal 5 bulan ke-5 dalam kalender lunar, keluarga-keluarga Tionghoa di seluruh dunia sibuk membungkus bakcang. Di Singapura, aroma bakcang menyeruak dari gang-gang Chinatown. Di Pontianak atau Medan, para ibu-ibu Tionghoa—dan kini juga ibu-ibu pribumi—ikut menyiapkan bakcang sebagai bagian dari jembatan budaya. Bahkan di Taiwan dan Hong Kong, supermarket penuh dengan berbagai varian bakcang: isi daging babi, kacang merah, bahkan yang versi vegetarian.
Namun, bukan hanya rasa yang diturunkan, tapi juga filosofi. Setiap sudut lipatan daun bambu memiliki makna. Bentuk segitiga atau piramida melambangkan stabilitas dan doa agar hidup tak goyah. Sedangkan ikatan tali menjadi simbol bahwa dalam kehidupan, setiap manusia harus ‘diikat’ oleh nilai dan prinsip.

Bakcang di Indonesia: Perpaduan Tradisi dan Keragaman
Di Indonesia, bakcang telah bertransformasi menjadi bagian dari kekayaan kuliner nasional. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, bakcang tak hanya dijual oleh etnis Tionghoa, tapi juga dijajakan di gerai kaki lima yang dikelola oleh warga lokal lintas suku. Versi halalnya pun berkembang, mengganti daging babi dengan ayam, sapi, bahkan jamur untuk menjangkau konsumen Muslim.
Tradisi makan bakcang pada Festival Duanwu pun mengalami akulturasi yang unik. Di komunitas Tionghoa di Tangerang dan Singkawang, Festival Perahu Naga dirayakan dengan parade budaya, pertunjukan barongsai, hingga festival kuliner yang menampilkan berbagai varian bakcang dari resep keluarga turun-temurun.
Uniknya lagi, banyak keluarga Tionghoa di Indonesia yang menambahkan bumbu lokal dalam isian bakcang mereka. Ada yang menggunakan rendang, semur, hingga abon pedas sebagai isiannya. Ini bukan hanya soal rasa, tapi bentuk dari integrasi budaya Tionghoa dengan tanah air yang mereka cintai.
Hari ini, Jumat, 30 Mei 2025, masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, termasuk Indonesia, tengah bersiap menyambut Hari Bakcang atau yang dikenal juga sebagai Peh Cun. Perayaan ini jatuh pada tanggal 5 bulan 5 dalam kalender lunar, yang tahun ini bertepatan dengan 31 Mei 2025.
Mengapa Hari Ini Sembahyang Bakcang?
Hari Bakcang merupakan momen penting untuk mengenang Qu Yuan, seorang penyair dan pejabat negara Chu pada masa Dinasti Zhou yang hidup sekitar tahun 340–278 SM. Qu Yuan dikenal karena kesetiaannya kepada negara dan keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran. Namun, karena fitnah dari lawan politiknya, ia diasingkan dan akhirnya memilih mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke Sungai Miluo.
Sebagai bentuk penghormatan, masyarakat setempat melemparkan bakcang—nasi ketan berisi daging atau kacang yang dibungkus daun bambu—ke sungai untuk mencegah ikan memakan jasad Qu Yuan. Tradisi ini kemudian berkembang menjadi perayaan tahunan yang dikenal sebagai Hari Bakcang atau Peh Cun.
Tradisi dan Makna Hari Bakcang
Perayaan Hari Bakcang tidak hanya sekadar mengenang Qu Yuan, tetapi juga sarat dengan berbagai tradisi dan makna:
- Makan Bakcang: Melambangkan penghormatan dan doa bagi leluhur serta harapan akan kebahagiaan dan kesejahteraan.
- Lomba Perahu Naga: Melambangkan usaha masyarakat dalam mencari jasad Qu Yuan di sungai.
- Mendirikan Telur di Tengah Hari: Dipercaya membawa keberuntungan jika telur dapat berdiri tegak pada siang hari.
- Menggantung Dedaunan: Seperti daun Ai dan Changpu di depan rumah untuk mengusir roh jahat dan penyakit.
- Mandi Tengah Hari: Dipercaya dapat membersihkan diri dari energi negatif dan penyakit.
Di Indonesia, perayaan ini juga menjadi ajang akulturasi budaya, di mana masyarakat Tionghoa dan non-Tionghoa bersama-sama merayakan dengan berbagai kegiatan, seperti membuat dan membagikan bakcang kepada tetangga serta mengadakan festival budaya.

Lintasan Sejarah yang Tak Pernah Luntur
Selama berabad-abad, bakcang menjadi lebih dari sekadar persembahan. Ia hadir di tengah ketegangan sejarah: saat Tiongkok menghadapi perang, revolusi, atau diaspora besar-besaran ke Asia Tenggara. Bakcang menjadi pengingat bahwa meski tubuh berpindah tanah, jiwa tak pernah lupa asalnya. Tak heran jika kini, generasi muda diaspora Tionghoa di Jakarta atau Kuala Lumpur berbondong-bondong ikut merayakan Festival Duanwu dengan membagikan bakcang kepada tetangga lintas etnis.
Bakcang juga menjadi simbol resistensi terhadap waktu. Di tengah derasnya tren fast food dan digitalisasi dapur, ritual membungkus bakcang tetap bertahan. Memakan bakcang bukan soal lapar, melainkan nostalgia dan penghormatan.
Tradisi yang Terus Dimodernisasi
Kini, bakcang tidak hanya dibuat oleh tangan ibu di dapur, tapi juga oleh barista di kafe tematik yang menggabungkan tradisi dan gaya hidup urban. Ada bakcang isi smoked beef dan keju, atau bakcang manis ala dessert bar Korea. Bahkan para kreator konten di TikTok berlomba membuat tutorial bakcang dengan twist yang nyeleneh tapi tetap berakar pada cerita.
Namun tetap saja, semodern apa pun variannya, tanggal 5 bulan ke-5 lunar selalu menjadi panggung utama. Ia bukan hanya tentang makan bersama, tapi juga perenungan kolektif: apa yang harus dijaga, apa yang harus diwariskan, dan siapa yang harus kita kenang.
Bakcang, Warisan Rasa yang Tak Pernah Usang
Jadi, mengapa ada hari tertentu untuk makan bakcang? Karena kita sedang merayakan ingatan. Karena setiap suapan bakcang adalah penghormatan atas nilai keberanian, kejujuran, dan cinta tanah air. Karena dalam dunia yang makin cepat ini, kita tetap butuh momen untuk melipat, mengikat, dan mengenang.
Sebab kadang, cara paling tenang untuk melawan lupa adalah dengan makan perlahan, sambil membiarkan daun bambu itu menyampaikan kisahnya sendiri.