Home Hukum dan Kriminal Pengungsi Rohingya: Mengapa Dibenci dan Asal Usul Sejarahnya

Pengungsi Rohingya: Mengapa Dibenci dan Asal Usul Sejarahnya

by Ferdi
0 comment
pengungsi rohingya

Krisis pengungsi Rohingya telah menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terbesar di Asia Tenggara dalam beberapa dekade terakhir. Ribuan orang Rohingya terpaksa meninggalkan rumah mereka di Myanmar karena kekerasan, diskriminasi, dan penganiayaan sistematis. Mereka terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia, untuk mencari perlindungan.

Namun, meski menjadi korban dari kekejaman etnis dan agama, Rohingya sering kali menjadi objek kebencian dan stigmatisasi, baik di Myanmar maupun di beberapa negara tempat mereka mengungsi. Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih lanjut mengenai asal-usul etnis Rohingya, mengapa mereka dibenci oleh sebagian besar populasi di Myanmar, serta bagaimana situasi kemanusiaan mereka yang semakin memburuk.

Asal Usul Etnis Rohingya

Rohingya adalah kelompok etnis minoritas Muslim yang mayoritas tinggal di negara bagian Rakhine, di barat laut Myanmar. Secara etnis dan budaya, Rohingya berbeda dari mayoritas etnis Burma yang menganut agama Buddha, yang mendominasi Myanmar. Rohingya berbahasa Bengali dan memiliki hubungan sejarah dengan penduduk yang tinggal di wilayah modern Bangladesh.

Keberadaan Rohingya di Rakhine telah berlangsung selama berabad-abad. Menurut beberapa catatan sejarah, orang-orang Muslim telah tinggal di wilayah ini sejak abad ke-8, sebagai hasil dari perdagangan maritim antara pedagang Arab dan Asia Tenggara. Namun, klaim sejarah ini sering kali diperdebatkan oleh pemerintah Myanmar yang menyatakan bahwa Rohingya adalah pendatang ilegal dari Bangladesh yang tiba di Myanmar selama masa penjajahan Inggris pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Ketegangan etnis antara Rohingya dan mayoritas Buddhis di Myanmar telah ada selama beberapa dekade, namun meningkat secara signifikan setelah kemerdekaan Myanmar dari Inggris pada tahun 1948.

Status Kewarganegaraan yang Dipertanyakan

Salah satu akar utama masalah yang dihadapi oleh Rohingya adalah status kewarganegaraan mereka. Pada tahun 1982, pemerintah Myanmar memberlakukan Undang-Undang Kewarganegaraan yang secara efektif mencabut status kewarganegaraan Rohingya. Undang-undang ini menetapkan bahwa hanya kelompok etnis yang dianggap “asli” di Myanmar sebelum masa kolonial yang berhak atas kewarganegaraan penuh. Karena Rohingya dianggap sebagai pendatang dari Bangladesh, mereka tidak diakui sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis resmi di Myanmar.

Akibatnya, Rohingya tidak memiliki akses penuh terhadap hak-hak dasar sebagai warga negara. Mereka tidak dapat berpartisipasi dalam politik, memperoleh pendidikan yang layak, atau bekerja di sektor-sektor tertentu. Bahkan, banyak di antara mereka yang tidak memiliki dokumen identitas resmi, sehingga mereka hidup dalam ketidakpastian hukum. Kondisi ini menciptakan marginalisasi yang parah terhadap komunitas Rohingya dan memperburuk konflik etnis di negara tersebut.

Mengapa Rohingya Dibenci di Myanmar?

Kebencian terhadap Rohingya di Myanmar tidak hanya didorong oleh perbedaan etnis dan agama, tetapi juga oleh propaganda yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, yang mengakar dalam pandangan nasionalis dan sektarian. Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa Rohingya dibenci di Myanmar:

1. Narasi Nasionalis

Sejak Myanmar memperoleh kemerdekaan, nasionalisme Buddhis menjadi kekuatan dominan dalam politik negara tersebut. Etnis Burma (Bamar) yang mayoritas adalah penganut agama Buddha, memainkan peran penting dalam membentuk identitas nasional Myanmar. Dalam pandangan nasionalis ekstrem, Rohingya dianggap sebagai ancaman terhadap identitas Buddha negara tersebut, karena mereka berbeda secara agama dan budaya.

Pemerintah Myanmar dan beberapa kelompok nasionalis Buddhis sering kali menggambarkan Rohingya sebagai “pendatang ilegal” dari Bangladesh yang ingin merebut tanah Myanmar dan mengubah demografi Rakhine. Pandangan ini diperkuat oleh retorika kebencian yang disebarkan oleh biksu ekstremis seperti Ashin Wirathu, yang dikenal sebagai pemimpin kelompok 969 Movement, yang secara terbuka menyuarakan kebencian terhadap Rohingya dan Muslim secara umum.

2. Diskriminasi Agama

Agama juga memainkan peran besar dalam kebencian terhadap Rohingya. Mayoritas penduduk Myanmar menganut agama Buddha, sementara Rohingya adalah Muslim. Ketegangan agama antara kedua komunitas ini diperparah oleh retorika dari para pemimpin agama dan politik yang menanamkan ketakutan bahwa komunitas Muslim akan mendominasi Myanmar.

Selain itu, pengaruh dari konflik global yang melibatkan kelompok Islamis ekstremis juga memicu sentimen anti-Muslim di Myanmar. Kelompok nasionalis di Myanmar sering kali menyamakan Rohingya dengan ekstremis Islam, meskipun tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung klaim ini.

3. Ekonomi dan Sumber Daya

Wilayah Rakhine di Myanmar, tempat sebagian besar Rohingya tinggal, kaya akan sumber daya alam seperti gas alam dan minyak bumi. Beberapa pengamat percaya bahwa salah satu alasan utama di balik pengusiran Rohingya adalah kepentingan ekonomi yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam di wilayah ini. Pengusiran Rohingya dari tanah mereka memungkinkan pemerintah dan kelompok-kelompok lain untuk mengontrol dan memanfaatkan sumber daya ini tanpa perlawanan dari penduduk lokal.

4. Kampanye Militer yang Sistematis

Sejak tahun 2017, militer Myanmar meluncurkan kampanye militer besar-besaran terhadap komunitas Rohingya, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai pembersihan etnis. Operasi militer ini melibatkan pembakaran desa-desa Rohingya, pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pengusiran paksa. Lebih dari 700.000 Rohingya terpaksa melarikan diri ke Bangladesh selama operasi tersebut, dan ribuan lainnya melarikan diri ke negara-negara lain.

Laporan-laporan dari PBB dan organisasi hak asasi manusia menggambarkan kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap Rohingya, yang mengarah pada tuduhan genosida. Namun, pemerintah Myanmar terus membantah tuduhan tersebut, mengklaim bahwa operasi militer mereka bertujuan untuk memerangi kelompok-kelompok pemberontak Rohingya yang mereka anggap sebagai teroris.

Pengungsi Rohingya dan Krisis Kemanusiaan

Akibat dari kekerasan dan penganiayaan di Myanmar, jutaan Rohingya saat ini hidup dalam pengungsian. Bangladesh, yang menjadi tujuan utama para pengungsi, menampung lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya di kamp-kamp pengungsi di wilayah Cox’s Bazar, yang menjadi salah satu kamp pengungsi terbesar di dunia.

Kondisi di kamp pengungsi sangat memprihatinkan, dengan kurangnya akses terhadap air bersih, makanan, layanan kesehatan, dan pendidikan. Anak-anak Rohingya, yang membentuk sebagian besar populasi di kamp-kamp pengungsi, menghadapi masa depan yang suram tanpa pendidikan yang memadai dan minimnya peluang untuk kehidupan yang lebih baik.

Selain Bangladesh, beberapa negara lain di Asia Tenggara seperti Malaysia, Indonesia, dan Thailand juga menjadi tujuan pengungsi Rohingya. Namun, banyak di antara mereka yang menghadapi penolakan, ketidakpastian status hukum, dan diskriminasi di negara-negara ini. Meskipun ada upaya dari organisasi internasional seperti PBB dan UNHCR untuk memberikan bantuan, krisis ini tetap menjadi masalah yang sangat sulit diselesaikan.

Bagaimana Reaksi dunia atas krisis ini ?

Reaksi dunia atas krisis Rohingya telah melibatkan berbagai langkah diplomatik, bantuan kemanusiaan, dan kritik keras terhadap pemerintah Myanmar. Komunitas internasional secara umum mengecam tindakan brutal militer Myanmar terhadap Rohingya, tetapi responsnya bervariasi, tergantung pada kepentingan politik dan hubungan diplomatik masing-masing negara. Berikut adalah beberapa reaksi utama dunia terhadap krisis Rohingya:

1. PBB dan Organisasi Internasional

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menjadi salah satu aktor utama yang terlibat dalam menangani krisis Rohingya. PBB menyatakan bahwa tindakan militer Myanmar terhadap Rohingya mungkin dapat dikategorikan sebagai pembersihan etnis atau bahkan genosida. Dewan Keamanan PBB telah mengadakan beberapa pertemuan terkait krisis ini, tetapi belum berhasil mengambil langkah yang lebih tegas karena ada veto dari beberapa anggota tetap, seperti China dan Rusia.

Organisasi seperti Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) telah bekerja sama dengan pemerintah Bangladesh untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya yang berada di kamp-kamp di Cox’s Bazar. Mereka memberikan dukungan dalam bentuk penyediaan makanan, air bersih, tempat penampungan, serta layanan kesehatan.

2. Pengadilan Internasional

Pada tahun 2019, Gambia atas nama Organisasi Kerjasama Islam (OKI), mengajukan kasus terhadap Myanmar ke Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag atas tuduhan genosida terhadap Rohingya. Gambia berpendapat bahwa Myanmar melanggar Konvensi Genosida 1948, dan ICJ kemudian mengeluarkan perintah sementara agar Myanmar mengambil langkah-langkah untuk melindungi Rohingya dari kekerasan lebih lanjut.

Sidang di ICJ masih berlangsung, dan keputusan akhir bisa memakan waktu bertahun-tahun. Namun, kasus ini merupakan langkah penting dalam upaya internasional untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah Myanmar atas kejahatan terhadap Rohingya.

3. Sanksi Internasional

Sejumlah negara Barat, seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, dan Inggris, telah menjatuhkan sanksi terhadap militer Myanmar dan beberapa pemimpin kunci yang dianggap bertanggung jawab atas kekerasan terhadap Rohingya. Sanksi tersebut termasuk larangan perjalanan, pembekuan aset, dan pembatasan ekonomi terhadap individu dan entitas yang terkait dengan kekerasan tersebut.

Amerika Serikat, misalnya, telah memberlakukan sanksi terhadap Jenderal Min Aung Hlaing, panglima tertinggi militer Myanmar, serta beberapa pejabat tinggi lainnya. Uni Eropa juga telah memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar dan memberikan sanksi kepada tokoh militer yang terkait dengan kekerasan terhadap Rohingya.

4. Tanggapan dari Negara-Negara Tetangga

Negara-negara Asia Tenggara, khususnya anggota ASEAN, memiliki posisi yang beragam terhadap krisis Rohingya. Bangladesh, yang menampung lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya, telah meminta bantuan internasional untuk menangani krisis ini, tetapi juga menghadapi tantangan besar dalam menangani lonjakan pengungsi yang terus berdatangan. Bangladesh berulang kali menyerukan agar Myanmar memulangkan pengungsi Rohingya dengan aman dan bermartabat, tetapi hingga saat ini proses repatriasi masih terhambat.

Malaysia dan Indonesia, yang memiliki populasi Muslim yang besar, juga telah mengungkapkan keprihatinan atas krisis ini dan memberikan bantuan kemanusiaan. Kedua negara ini menerima sejumlah kecil pengungsi Rohingya yang tiba melalui laut. Namun, baik Malaysia maupun Indonesia menghadapi keterbatasan dalam hal infrastruktur dan sumber daya untuk menangani pengungsi dalam jumlah besar.

Thailand, sebagai negara tetangga Myanmar, juga menjadi tujuan transit bagi pengungsi Rohingya yang mencoba melarikan diri melalui jalur laut. Namun, Thailand sering menghadapi kritik dari komunitas internasional karena dianggap tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pengungsi Rohingya, serta laporan tentang pengembalian paksa (refoulement) dan penahanan para pengungsi di kamp yang tidak layak.

5. Reaksi dari Dunia Muslim

Banyak negara Muslim, terutama yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI), secara vokal mengkritik tindakan Myanmar terhadap Rohingya. OKI berulang kali mengeluarkan pernyataan yang mengecam tindakan militer Myanmar dan mendesak komunitas internasional untuk mengambil langkah tegas. Beberapa negara seperti Turki dan Pakistan telah menjadi pendukung vokal bagi Rohingya, dengan Turki aktif mengirimkan bantuan kemanusiaan dan menyuarakan krisis ini di forum internasional.

6. Dukungan Kemanusiaan Global

Krisis Rohingya telah menggerakkan banyak lembaga kemanusiaan global seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan Doctors Without Borders (MSF) untuk mengecam tindakan Myanmar dan memberikan bantuan kepada para pengungsi. Lembaga-lembaga ini terus mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia dan memberikan tekanan pada komunitas internasional untuk menuntut pertanggungjawaban Myanmar.

7. Respon dari Myanmar

Myanmar sendiri, baik melalui pemerintah sipil maupun militer, terus membantah bahwa mereka telah melakukan genosida atau pembersihan etnis terhadap Rohingya. Mereka menegaskan bahwa tindakan militer mereka adalah respons terhadap serangan dari kelompok pemberontak Rohingya, Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang dianggap sebagai kelompok teroris oleh pemerintah Myanmar. Pemerintah juga berulang kali menolak mengakui Rohingya sebagai etnis yang sah di Myanmar dan menolak untuk memberikan mereka status kewarganegaraan.

Kesimpulan

Krisis Rohingya adalah salah satu konflik etnis dan agama paling kompleks di dunia. Dengan status kewarganegaraan yang ditolak, marginalisasi yang sistematis, dan kekerasan yang brutal, Rohingya terus menjadi salah satu kelompok paling teraniaya di dunia. Kebencian terhadap Rohingya di Myanmar didorong oleh sejarah panjang diskriminasi, nasionalisme ekstrem, dan propaganda yang terstruktur.

Sementara jutaan Rohingya hidup dalam pengungsian, mencari perlindungan dan masa depan yang lebih baik, solusi jangka panjang terhadap krisis ini tampaknya masih jauh dari jangkauan. Tanpa dukungan dan upaya lebih besar dari komunitas internasional serta reformasi yang nyata di Myanmar, masa depan Rohingya tetap tidak pasti.

You may also like

Leave a Comment

radar tulungagung

Radar Tulungagung – Kabar Aktual dan Terpercaya

 

Radar Tulungagung adalah situs portal berita lokal yang menyediakan informasi terkini, aktual, dan terpercaya seputar Kabupaten Tulungagung dan sekitarnya.

 

Sebagai sumber berita yang profesional, Radar Tulungagung menyajikan berbagai topik menarik mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga gaya hidup dan olahraga.

Headline

Pilihan Editor

@2024 – All Right Reserved Radar Tulungagung