Table of Contents
Pada tanggal 17 Oktober 2024, Aksi Kamisan kembali berkumpul di depan Istana Negara, Jakarta, dengan membawa misi khusus: menyerahkan surat terakhir kepada Presiden Republik Indonesia. Surat tersebut berisi tuntutan yang mencerminkan kekhawatiran mendalam mengenai masa depan penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, terutama menjelang pelantikan pemimpin baru, yang dijadwalkan akan berlangsung pada 20 Oktober 2024. Pelantikan ini dipandang kontroversial oleh banyak pihak, mengingat sosok presiden terpilih diduga memiliki keterlibatan dalam beberapa kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Aksi Kamisan telah menjadi simbol perjuangan keluarga korban pelanggaran HAM, yang secara konsisten menuntut keadilan selama bertahun-tahun. Surat yang diserahkan pada hari ini tidak hanya menjadi pengingat akan kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, tetapi juga sebagai bentuk penolakan terhadap kepemimpinan baru yang dianggap membawa masa lalu kelam HAM di Indonesia.
Latar Belakang Aksi Kamisan
Aksi Kamisan dimulai pada tahun 2007 sebagai bentuk protes damai yang dilakukan oleh keluarga korban pelanggaran HAM dan masyarakat sipil. Setiap Kamis, para peserta aksi ini berkumpul di depan Istana Negara, membawa payung hitam sebagai simbol duka dan perlawanan terhadap ketidakadilan yang terus berlangsung. Aksi ini dipelopori oleh keluarga korban tragedi seperti penculikan aktivis 1998, Tragedi 1965, dan berbagai pelanggaran HAM berat lainnya, termasuk kasus Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Selama lebih dari satu dekade, Aksi Kamisan telah menjadi suara bagi mereka yang diabaikan oleh sistem peradilan dan pemerintahan. Meski terkesan kecil dan sederhana, aksi ini menyimpan kekuatan moral yang besar, karena dilakukan secara konsisten setiap minggu, tanpa henti, meski tidak selalu mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Surat Terakhir: Apa yang Disampaikan?
Pada Aksi Kamisan terakhir yang digelar hari ini, surat yang diberikan kepada Presiden merupakan puncak dari kekecewaan dan kekhawatiran yang sudah lama dipendam. Dalam surat tersebut, Aksi Kamisan menyoroti beberapa poin penting:
Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat yang Belum Tuntas
Surat tersebut meminta agar pemerintah segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang hingga saat ini belum ada kejelasan hukumnya. Kasus-kasus seperti Tragedi 1965, penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998, peristiwa Talangsari 1989, serta pelanggaran HAM di Aceh dan Timor Timur menjadi sorotan utama.
Peringatan terhadap Kepemimpinan Baru
Aksi Kamisan secara terbuka menyatakan kekhawatiran mereka terhadap presiden terpilih yang akan dilantik besok. Mereka menyebutkan bahwa sosok tersebut diduga memiliki rekam jejak yang tidak bersih terkait pelanggaran HAM, khususnya dalam operasi militer di beberapa daerah konflik di Indonesia. Mereka menekankan bahwa pelantikan ini bisa dianggap sebagai langkah mundur dalam upaya penegakan HAM di Indonesia.
Pengakuan dan Permintaan Maaf dari Negara
Salah satu tuntutan utama adalah agar negara mengakui kesalahan masa lalu terkait pelanggaran HAM dan memberikan permintaan maaf secara resmi kepada para korban dan keluarga korban. Langkah ini, menurut Aksi Kamisan, adalah awal yang penting sebelum proses penyelesaian hukum bisa dilakukan.
Pentingnya Keberlanjutan Upaya Penegakan HAM
Aksi Kamisan juga menekankan bahwa meskipun presiden baru memiliki kekuasaan eksekutif yang besar, tanggung jawab moral terhadap hak asasi manusia harus tetap dipegang. Mereka menuntut agar pemerintah ke depan tidak melupakan pentingnya penegakan HAM dan terus berupaya mewujudkan keadilan bagi semua korban pelanggaran HAM.
Reaksi Terhadap Pelantikan Presiden Baru
Pelantikan presiden baru pada 20 Oktober 2024 mendatangkan protes dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia. Presiden terpilih yang akan dilantik besok dianggap memiliki sejarah kelam terkait HAM, terutama dalam konteks operasi militer yang pernah dilakukannya di berbagai wilayah konflik, termasuk Aceh, Timor Leste, dan Papua. Selama masa kampanye, isu pelanggaran HAM menjadi salah satu kritik terbesar yang dilayangkan oleh lawan politik dan aktivis HAM terhadap sosok ini.
Meskipun presiden terpilih telah berulang kali menegaskan komitmennya terhadap penegakan HAM, bagi keluarga korban dan aktivis, klaim tersebut masih diragukan. Mereka melihat adanya ketidaksesuaian antara pernyataan politik dan realitas masa lalu yang penuh dengan tuduhan pelanggaran HAM. Pelantikan presiden terpilih ini, menurut beberapa pengamat, bisa memperburuk situasi penegakan HAM di Indonesia, terutama jika tidak ada upaya nyata untuk menyelesaikan kasus-kasus lama.
Simbolisme Aksi Kamisan: Perlawanan yang Konsisten
Aksi Kamisan, meski bersifat damai dan sederhana, telah menjadi simbol penting bagi gerakan HAM di Indonesia. Keberadaannya selama lebih dari 15 tahun adalah bukti dari keteguhan hati para keluarga korban dalam memperjuangkan keadilan. Payung hitam yang mereka bawa setiap Kamis bukan hanya pelindung dari cuaca, tetapi juga simbol dari kegelapan masa lalu yang belum diselesaikan oleh pemerintah.
Dalam konteks pelantikan presiden baru ini, Aksi Kamisan tetap konsisten dalam perjuangannya. Surat yang diserahkan hari ini adalah pesan tegas bahwa mereka tidak akan berhenti menuntut keadilan, siapa pun yang memegang tampuk kekuasaan. Bagi mereka, tidak ada yang lebih penting dari keadilan bagi para korban dan pengakuan negara atas kesalahan masa lalunya.
Harapan untuk Masa Depan: Akankah Keadilan Terwujud?
Dengan pelantikan presiden baru yang dianggap bermasalah dari segi rekam jejak HAM, masa depan penegakan HAM di Indonesia menjadi semakin tidak pasti. Para keluarga korban pelanggaran HAM terus berharap bahwa meskipun sosok yang dilantik memiliki catatan buruk, masih ada harapan untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM melalui mekanisme hukum yang adil dan transparan.
Aktivis HAM menekankan bahwa masyarakat harus terus aktif memperjuangkan keadilan dan menekan pemerintah agar tidak mengabaikan tanggung jawabnya. Keberlanjutan Aksi Kamisan adalah bukti bahwa perjuangan ini belum berakhir dan bahwa harapan akan keadilan masih ada, meski jalan yang harus ditempuh penuh dengan tantangan.
Kesimpulan: Sebuah Perjuangan yang Belum Berakhir
Penyerahan surat terakhir kepada Presiden oleh Aksi Kamisan pada hari ini menandai momen penting dalam sejarah perjuangan HAM di Indonesia. Pelantikan presiden baru yang dianggap sebagai pelanggar HAM tidak menyurutkan semangat para keluarga korban untuk terus menuntut keadilan. Aksi Kamisan tetap menjadi simbol kekuatan moral yang mengingatkan bangsa ini bahwa tanpa penyelesaian atas pelanggaran HAM, tidak akan ada perdamaian sejati.
Masyarakat Indonesia diharapkan tetap waspada dan kritis terhadap pemerintahan baru ini, memastikan bahwa penegakan HAM dan keadilan tetap menjadi prioritas utama dalam kebijakan pemerintah ke depan. Perjuangan keluarga korban dan para aktivis HAM tidak akan pernah berhenti sampai keadilan benar-benar tercapai.